Sunday, June 19, 2011

Hikikomori

Pendahuluan

Pada tahun 2000-an, sebuah penyakit sosial baru yang unik ditemukan di Jepang. Hikikomori, istilah tesebut diajukan oleh Tamaki Saito, seorang psikolog Jepang, untuk menyebut sebuah sindrom yang mengarah pada penarikan diri total di kalangan remaja Jepang. Menteri kesehatan Jepang mendefinisikan seorang hikikomori sebagai seseorang yang menolak untuk keluar dari rumah kedua orangtuanya dan mengisolasi diri mereka dari lingkungan sekitarnya sedikitnya selama enam bulan. Masa hikikomori bervariasi tergantung individu bersangkutan, beberapa remaja tetap mengisolasi diri mereka selama beberapa tahun, bahkan pada beberapa kasus hingga beberapa dekade.
Hikikomori lebih sering ditemukan pada keluarga menengah ke atas, biasanya menimpa anak laki-laki tertua, mereka menolak untuk keluar dari rumah orangtuanya setelah mengalami banyak episode traumatik dalam hidupnya atau mengalami kegagalan akademik. Menurut pendapat Sadatsugu Kudo, penulis buku Hey Hikikomori! It’s Time, Let’s go Out (2001), fenomena hikikomori sebenarnya sudah ada sejak dua puluh tahun yang lalu, dan dikenal dengan nama tokokyohi, yang mengarah pada perilaku dropout dari sekolah dan penolakan untuk bersekolah.
Dalam suatu penelitian untuk mengetahui distribusi usia seseorang yang melakukan hikikomori, diperoleh hasil sebagai berikut:

Usia Prosentase
10-15 tahun 8,4 %
16-20 tahun 19,8 %
21-25 tahun 20,8 %
26-30 tahun 18,2 %
31-35 tahun 10,2 %
36 ke atas 8,6 %
Tidak diketahui 14,1 %

Pada data tersebut diketahui bahwa para hikikomori yang berusia muda sangatlah sedikit, hanya 8,4 %, sangat jauh dari perkiraan untuk dikatakan sebagai ’penyakit remaja’. Prosentase terbesar justru terdapat pada kalangan yang berusia 21-25 tahun. Dari hasil tersebut dapat dapat disimpulkan bahwa hikikomori bukanlah ’penyakit remaja’ melainkan ’penyakit pelajar universitas’. Para ’hikikomori yang lebih tua’ ini mungkin memilih untuk menarik diri dari lingkungan sosialnya karena beberapa masalah yang menimpanya selama mereka masih sekolah ketika masih lebih muda, namun penarikan diri mereka tidak terdiagnosa sehingga mereka tetap melakukan isolasi diri selama beberapa tahun. Sebuah survey dilakukan untuk mengetahui berapa lama biasanya seseorang mengisolasi diri mereka, dan hasilnya sebagai berikut:

Waktu Prosentase
6 bulan-1 tahun 17,9 %
1-3 tahun 25,3 %
3-5 tahun 14,7 %
5-7 tahun 9,7 %
7-10 tahun 5,9 %
10 tahun ke atas 7,7 %
Tidak diketahui 17,8 %

Pembahasan


Simptom-Simptom
Di saat kebanyakan orang menghadapi tekanan-tekanan dari dunia luar, hikikomori justru bereaksi dengan menarik diri secara total dari kehidupan sosialnya. Remaja yang menarik diri secara sosial biasanya mengunci diri mereka di dalam kamar tidur dan menolak untuk melakukan kontak sosial dengan dunia luar. Mereka biasanya memiliki sedikit teman bahkan tidak memiliki samasekali. Hikikomori seringkali mengatur jadwal tidur mereka, biasanya mereka bangun pada sore hari dan pergi tidur menjelang pagi. Mereka memiliki jam tidur yang panjang pada siang hari, dan pada malam hari mereka menghabiskan waktu dengan menonton TV, menggambar, bermain game komputer, surfing internet, membaca, mendengarkan musik, dan aktivitas-aktivitas non-sosial lainnya. Karena hikikomori lebih menyukai aktivitas indoor daripada aktivitas outdoor, maka mereka lebih memilih untuk melakukan aktivitasnya pada malam hari. Belum ada data statistik resmi mengenai jumlah hikikomori, namun dipekirakan bahwa lebih dari satu juta remaja Jepang pernah atau sedang melakukan hikikomori.

Efek-Efek
• Pada Individu
Miskinnya kontak sosial dan rasa kesepian yang terlalu panjang memberikan efek pada mental para hikikomori, yang secara bertahap kehilangan keterampilan sosialnya, referensi sosial dan kebutuhan-kebutuhan lain untuk berinteraksi dengan dunia luar. Akibat kurangnya stimulus interpersonal, seorang hikikomori mengalami perkembangan yang stagnan dan terus-menerus melakukan hal yang sama dalam waktu yang lama.
• Pada keluarga
Memiliki anggota keluarga yang mengalami hikikomori seringkali menimbulkan rasa malu bagi keluarga tersebut. Sebagian besar orangtua hanya menunggu dan berharap anaknya akan mampu mengatasi permasalahannya dan kembali ke kehidupan sosial dengan keinginannya sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, tingginya perhatian media terhadap hikikomori menimbulkan stigma sosial bahwa hikikomori berkaitan dengan penyakit mental. Akibatnya, beberapa keluarga merahasiakan kondisi anaknya dan membiarkan saja anaknya berada dalam kondisi seperti itu.
Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Hikikomori
Terdapat berbagai macam penyebab perilaku Hikikomori, antara lain:
• Kekayaan Keluarga
Keluarga dari kelas menengah biasanya mengijinkan anak-anaknya yang sudah dewasa untuk tinggal di rumah saja. Korban hikikomori bisa dengan leluasa tinggal di rumah, bermain video game, dan menonton televisi. Keluarga dengan pendapatan yang lebih rendah tidak memiliki anak hikikomori karena biasanya mereka mendorong anaknya untuk bekerja di luar rumah.
• Ambiguitas peran Laki-laki
Remaja laki-laki merasa tidak yakin dengan masa depannya dan tidak mempunyai model dalam perannya sebagai laki-laki.
• Ijime (bullying)
Kekerasan oleh teman-teman sekolah. Seperti pepatah jepang, paku yang menonjol akan dipalu untuk menjadi seragam, seorang hikikomori yang biasanya memiliki kelebihan dibandingkan dengan teman-temannya, akan mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman-temannya.
• Tokokyohi
Penolakan bersekolah. Hal ini diindikasikan dengan absen dari sekolah selama 50 hari atau lebih.
• Tekanan Akademik di Sekolah
Sistem pendidikan di Jepang, seperti halnya di China, Singapura, dan Taiwan memiliki tingkat persaingan yang sangat tinggi dan ketat. Penetapan ’grade’ yang tinggi dan tidak adanya kesempatan kedua bagi seseorang yang gagal dalam ujian, sangat berpengaruh terhadap kondisi mental remaja Jepang.
• Visibilitas Media
Sorotan media yang terlalu berlebihan terhadap fenomena hikikomori menyebabkan semakin mengemulasi jumlah korban serius.
• Harapan-Harapan Orangtua
Adanya harapan-harapan yang digantungkan pada remaja kelas menengah agar meraih kesuksesan dalam hidup, adapun yang dimaksud kesuksesan adalah mendapat pendidikan di tempat yang prestisius kemudian setelah lulus mendapatkan karir yang prestisius pula.
• Hubungan Ibu-Anak
”Di Jepang, ibu dan anak memiliki hubungan simbiotik. Seorang ibu akan mengurus anaknya sampai anaknya berusia 30 atau 40 tahun.” (Rees,2002)
• Kamar anak
Di Jepang, bagi orangtua kamar anak merupakan tempat paling keramat. Sangatlah normal jika orangtua tidak bertemu samasekali dengan anaknya dalam satu hari. Komunikasi yang kurang dapat semakin memperparah penarikan diri remaja hikikomori.

Hikikomori sebagi Stigma: Kekerasan dan Penyakit Mental
Hikikomori sering dihubung-hubungkan dengan kekerasan. Hal ini disebabkan adanya pemberitaan-pemberitaan berlebihan atas beberapa kasus kriminal yang kebetulan pelakunya adalah seorang ’hikikomori’,di antaranya:
• Pada tanggal 3 Mei 2000 seorang remaja berusia 17 tahun yang disebut-sebut seorang hikikomori membajak sebuah bus dan membunuh satu orang penumpangnya
• Seorang remaja berusia 17 tahun lainnya, dalam sebuah perselisihan mengenai model rambut, memukul anggota satu tim baseball dengan pemukul baseball lalu pulang ke rumah dan membunuh ibunya dengan alat yang sama karena tidak diberi uang
• Pada tahun 1990, seorang laki-laki berusia 27 tahun menculik anak perempuan berusia 9 tahun, Sano Fusako dan menyekapnya selama sembilan tahun dua bulan di kamarnya tanpa diketahui keluarganya.
Sebagai hasil dari pemberitaan negatif media, hikikomori memiliki stigma sosial sebagai pelaku kekerasan dan berpenyakit mental.

Penutup

Menggambarkan kembali Batasan-batasan untuk Klasifikasi Hikikomori
Dalam bukunya, Hey Hikikomori! It’s Time, Let's Go Out, Kudo mengelompokkan hikikomori ke dalam empat kategori dasar:
1. Pencari Kesenangan (disebut juga sebagai delinquents)
2. Orang yang malas (seseorang yang tidak suka pergi sekolah)
3. Komori (seseorang yang selalu merasa khawatir jika orang lain melihatnya, dan ingin keluar dari situasi tidak menyenangkan tersebut tapi tidak bisa). [Mirip dengan taijin kyofusho dan agorafobia].
4. Kasus-Kasus Khusus (Seseorang yang berhenti sekolah karena bermasalah dengan kekerasan, teman, guru, karena tidak menyukai sesuatu seperti belajar atau matapelajaran tertentu, atau mereka merasa rendah diri karena kedua orangtuanya berpisah atau bercerai)

Untuk melengkapi klasifikasi Kudo tersebut, ditambahakan klasifikasi sebagai berikut:
5. Penyakit Mental (seseorang yang tidak bisa berfungsi secara semestinya tanpa pengobatan dan bahkan mungkin tidak memiliki kemampuan kognitif untuk menghadapi dunia luar saat sakit).
6. Pelaku Kekerasan (Seseorang yang berperilaku merugikan keluarga maupun dirinya sendiri seperti ‘hikikomori wrist cutters’ yang memotongi tubuhnya sendiri.)

Treatment
Terdapat berbagai macam opini untuk mengatasi hikikomori, dan seringkali berlawanan antara sudut pandang Barat dan sudut pandang orang Jepang. Orang Jepang biasanya menyarankan untuk menunggu sampai hikikomori tersebut muncul kembali dalam kehidupan sosialnya, sedangkan ahli-ahli dari Barat menyarankan untuk menarik hikikomori kembali ke komunitasnya, bahkan jika perlu dengan paksa.
Pada umumnya, treatment yang diberlakukan terhadap para hikikomori mengikuti dua filosofi, yaitu psikologis dan sosialisasi.
1. Metode Psikologis
Metode psikologis menekankan pada pendampingan untuk membantu penderita hikikomori menghadapi penyakit mereka. Beberapa menekankan untuk membawa penderita dari rumah mereka dan menempatkan mereka ke dalam sebuah lingkungan rumah sakit, sedangkan sebagian lagi lebih mendukung cara-cara yang bisa dilakukan tanpa harus mengeluarkan penderita dari rumahnya, misalnya konseling online.
2. Metode Sosialisasi
Metode sosialisasi dilakukan dengan jalan menjauhkan penderita dari lingkungan rumahnya dan memasukkannya ke dalam sebuah lingkungan baru di mana di dalamnya terdapat penderita hikikomori lainnya yang sudah sembuh, pendekatan ini menunjukkan kepada para hikikomori bahwa mereka tidak sendirian dalam kondisi tersebut.

Sumber:
Dziesinski, Michael J. 2003. Hikikomori: Investigations into the phenomenon of acute social withdrawal in contemporary Japan. Final paper. Honolulu: Hawaii

No comments:

Post a Comment