Sunday, December 4, 2011

PELACURAN ANAK

Sekurangnya 150.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran anak dan pornografi tiap tahun. Angka itu meningkat 100 persen lebih dari statistik badan PBB, Unicef tahun 1998 yang mencatat sekitar 70.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran dan pornografi. Berdasarkan data ILO, pada 2002-2006 ditemukan sebanyak 165 ribu pelacur sekitar 30 persennya atau 49 ribu jiwa adalah anak di bawah usia 18 tahun.
Koordinator Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) Ahmad Sofian yang menjelaskan, 70 persen anak yang jadi korban berusia antara 14 tahun dan 16 tahun. Kejahatan yang menimpa mereka bervariasi, dari sindikat pelacuran, pedofilia, pornografi dan sebagainya.
Jumlah pelacur anak di kota besar Indonesia mencapai angka ribuan orang. Di Jakarta diperkirakan sekurangnya ada 10.000. Sedangkan mereka yang ditemukan di Sumatera Utara sebanyak 1.500 anak. Jumlah lebih kecil dari kenyataan karena pelacuran anak merupakan fenomena gunung es.
Muhammad Jailani, Direktur Eksekutif Kelompok Kerja Sosial Perkotaan, mengatakan, data tersebut masih merupakan jumlah sebagian yang sempat terdata. Jumlah pasti pelacur anak diperkirakan lebih besar dibanding angka yang sudah ditemukan
Tarif kencan pelacur anak lebih tinggi ketimbang pelacur dewasa bahkan mahasiswi. Sofian menjelaskan, tarif kencan pelacur anak Rp 400.000 hingga Rp 1,5 juta. Mereka terjun ke pelacuran karena materialisme dan mengikuti gaya hidup mewah.
Jaringan pelacuran anak di kalangan siswi sekolah memiliki database dan daftar nomor telepon pelacur anak. Kondisi itu terjadi merata di kota-kota besar. Kota-kota yang menjadi pusat ESKA adalah Batam, Bali, Jakarta, Surabaya, Medan, dan tiga kota berdekatan, yakni Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Anak-anak itu juga kerap diselundupkan ke luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Jepang dengan pelbagai modus.
Ahmad Taufan Damanik, Ketua Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) yang berbasis di Medan menyatakan, persoalan anak yang dilacurkan umumnya terjadi di perkotaan. Mereka sebagian besar berasal dari daerah-daerah yang datang ke kota karena iming-iming penghasilan lumayan, tapi dijerumuskan jadi pekerja seks.

Hukum lemah
Menurut Jailani, Direktur Eksekutif Kelompok Kerja Sosial Perkotaan, penanganan anak yang dilacurkan di Indonesia masih setengah hati dibandingkan negara-negara lain. Di Sumatera Utara pelarangan tidak diikuti dengan intrumen pelaksana serta anggaran yang cukup.
Eddie Imanuel Doloksaribu dari Lembaga Penelitian Atma Jaya Jakarta menjelaskan, laporan-laporan lembaga advokasi atas kasus ESKA tidak dapat ditindaklanjuti karena ketentuan hukum yang ada belum mengatur, termasuk pada Undang-Undang Anti Pornografi dan Porno Aksi yang baru saja disetujui DPR.
Di negara lain eksploitasi seksual atas anak diganjar hukuman keras. Semisal dua warga negara Indonesia yang ditangkap di Melbourne, Australia, diancam hukuman hingga 10 tahun dan denda Rp 2,3 miliar karena terlibat ESKA.

Sekilas Sejarah Pelacuran di Indonesia
Pelacuran telah terjadi sepanjang sejarah manusia. Namun menelusuri sejarah pelacuran di Indonesia dapat dirunut mulai dari masa kerajaan-kerajaan Jawa, di mana perdagangan perempuan di pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal (Hull; 1997:1-22). Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanana Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia (binatara). Kekuasaan raja Mataram sangat besar. Mereka seringkali dianggap menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba sahaya. Anggapan ini apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat ini mempunyai arti tersendiri.
Raja mempunyai kekuasaan penuh. Seluruh yang ada di atas Jawa, bumi dan seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, daun, dan segala sesuatunya adalah milik raja. Tugas raja pada saat itu adalah menetapkan hukum dan menegakkan keadilan; dan semua orang diharuskan mematuhinya tanpa terkecuali. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang selir tersebut adalah puteri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi merupakan persembahan dari kerajaan lain, ada juga selir yang berasal dari lingkungan keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana.
Sebagian selir raja ini dapat meningkat statusnya karena melahirkan anak-anak raja. Perempuan yang dijadikan selir tersebut berasal dari daerah tertentu yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Reputasi daerah seperti ini masih merupakan legenda sampai saat ini. Koentjoro (1989:3) mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur; dan menurut sejarah daerah ini merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Sultan Cirebon sebagai selir. (Hull, at al. 1997:2).
Makin banyaknya selir yang dipelihara, menurut Hull, at al. (1997:2) bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan fisik, mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi kekuasaan para raja dan membuktikan adanya kejayaan spiritual. Hanya raja dan kaum bangsawan dalam masyarakat yang mempunyai selir. Mempersembahkan saudara atau anak perempuan kepada bupati atau pejabat tinggi merupakan tindakan yang didorong oleh hasrat untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan, seperti tercermin dari tindakan untuk memperbanyak selir. Tindakan ini mencerminkan dukungan politik dan keagungan serta kekuasaan raja. Oleh karena itu, status perempuan pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang antaran) dan sebagai selir.
Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas hanya di Jawa, kenyataan juga terjadi di seluruh Asia, di mana perbudakan, sistem perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal. Di Bali misalnya, seorang janda dari kasta rendah tanpa adanya dukungan yang kuat dari keluarga, secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan memasukkan dalam lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur. Sebagian dari penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur (ENI, dalam Hull; 1997:3).
Bentuk industri seks yang lebih terorganisasi berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda (Hull; 1997:3). Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa. Umumnya, aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara. Pemuasan seks untuk para serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke Nusantara.
Dari semula, isu tersebut telah menimbulkan banyak dilema bagi penduduk pribumi dan non-pribumi. Dari satu sisi, banyaknya lelaki bujangan yang dibawa pengusaha atau dikirim oleh pemerintah kolonial untuk datang ke Indonesia, telah menyebabkan adanya permintaan pelayanan seks ini. Kondisi tersebut ditunjang pula oleh masyarakat yang menjadikan aktivitas memang tersedia, terutama karena banyak keluarga pribumi yang menjual anak perempuannya untuk mendapatkan imbalan materi dari para pelanggan baru (para lelaki bujangan) tersebut. Pada sisi lain, baik penduduk pribumi maupun masyarakat kolonial menganggap berbahaya mempunyai hubungan antar ras yang tidak menentu. Perkawinan antar ras umumnya ditentang atau dilarang, dan perseliran antar ras juga tidak diperkenankan. Akibatnya hubungan antar ras ini biasanya dilaksanakan secara diam-diam. Dalam hal ini, hubungan gelap (sebagai suami-istri tapi tidak resmi) dan hubungan yang hanya dilandasi dengan motivasi komersil merupakan pilihan yang tersedia bagi para lelaki Eropa. Perilaku kehidupan seperti ini tampaknya tidak mengganggu nilai-nilai sosial pada saat itu dan dibiarkan saja oleh para pemimpin mereka. (Hull; 1997:4).
Situasi pada masa kolonial tersebut membuat sakit hati para perempuan Indonesia, karena telah menempatkan mereka pada posisi yang tidak menguntungkan secara hukum, tidak diterima secara baik dalam masyarakat, dan dirugikan dari segi kesejahteraan individu dan sosial. Maka sekitar tahun 1600-an, pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang keluarga pemeluk agama Kristen mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu rumah tangga dan melarang setiap orang mengundang perempuan baik-baik untuk berzinah. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apa dan mana yang dimaksud dengan perempuan “baik-baik”. Pada tahun 1650, “panti perbaikan perempuan” (house of correction for women) didirikan dengan maksud untuk merehabilitasi para perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks orang-orang Eropa dan melindungi mereka dari kecaman masyarakat. Seratus enam belas tahun kemudian, peraturan yang melarang perempuan penghibur memasuki pelabuhan “tanpa izin” menunjukkan kegagalan pelaksanaan rehabilitasi dan juga sifat toleransi komersialisasi seks pada saat itu (ENOI, dalam Hull; 1997:5).
Tahun 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengana serangkaian aturan untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini. Kerangka hukum tersebut masih berlaku hingga sekarang. Meskipun istilah-istilah yang digunakan berbeda, tetapi hal itu telah memberikan kontribusi bagi penelaahan industri seks yang berkaitan dengan karakteristik dan dialek yang digunakan saat ini. Apa yang dikenal dengan wanita tuna susila (WTS) sekarang ini, pada waktu itu disebut sebagai “wanita publik” menurut peraturan yang dikeluarkan tahun 1852. Dalam peraturan tersebut, wanita publik diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi (pasal 2). Semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11).
Jika seorang perempuan ternyata berpenyakit kelamin, perempuan tersebut harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. Untuk memudahkan polisi dalam menangani industri seks, para wanita publik tersebut dianjurkan sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil. Sayangnya peraturan perundangan yang dikeluarkan tersebut membingungkan banyak kalangan pelaku di industri seks, termasuk juga membingungkan pemerintah. Untuk itu pada tahun 1858 disusun penjelasan berkaitan dengan peraturan tersebut dengan maksud untuk menegaskan bahwa peraturan tahun 1852 tidak diartikan sebagai pengakuan bordil sebagai lembaga komersil. Sebaliknya rumah pelacuran diidentifikasikan sebagai tempat konsultasi medis untuk membatasi dampak negatif adanya pelacuran. Meskipun perbedaan antara pengakuan dan persetujuan sangat jelas bagi aparat pemerintah, tapi tidak cukup jelas bagi masyarakat umum dan wanita publik itu sendiri. (Hull; 1997:5-6).
Dua dekade kemudian tanggung jawab pengawasan rumah bordil dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Peraturan pemerintah tahun 1852 secara efektif dicabut digantikan dengan peraturan penguasa daerah setempat. Berkaitan dengan aktivitas industri seks ini, penyakit kelamin merupakan persoalan serius yang paling mengkhawatirkan pemerintah daerah. Tetapi terbatasnya tenaga medis dan terbatasnya alternatif cara pencegahan membuat upaya mengurangi penyebaran penyakit tersebut menjadi sia-sia (ENOI dalam Hull; 1997:6).
Pengalihan tanggung jawab pengawasan rumah bordil ini menghendaki upaya tertentu agar setiap lingkungan permukiman membuat sendiri peraturan untuk mengendalikan aktivitas prostitusi setempat. Di Surabaya misalnya, pemerintah daerah menetapkan tiga daerah lokalisasi di tiga desa sebagai upaya untuk mengendalikan aktivitas pelacuran dan penyebaran penyakit kelamin. Selain itu, para pelacur dilarang beroperasi di luar lokalisasi tersebut. Semua pelacur di lokalisasi ini terdaftar dan diharuskan mengikuti pemeriksaan kesehatan secara berkala (Ingleson dalam Hull; 1997:6).
Tahun 1875, pemerintah Batavia (kini Jakarta), mengeluarkan peraturan berkenaan dengan pemeriksaan kesehatan. Peraturan tersebut menyebutkan, antara lain bahwa para petugas kesehatan bertanggung jawab untuk memeriksa kesehatan para wanita publik. Para petugas kesehatan ini pada peringkat kerja ketiga (tidak setara dengan eselon III zaman sekarang yaitu kepala biro pada organisasi pemerintahan) mempunyai kewajiban untuk mengunjungi dan memeriksa wanita publik pada setiap hari Sabtu pagi. Sedangkan para petugas pada peringkat lebih tinggi (peringkat II) bertanggung jawab untuk mengatur wadah yang diperuntukkan bagi wanita umumnya yang sakit dan perawatan lebih lanjut. Berdasarkan laporan pada umumnya meskipun telah dikeluarkan banyak peraturan, aktivitas pelacuran tetap saja meningkat secara drastis pada abad ke-19, terutama setelah diadakannya pembenahan hukum agraria tahun 1870, di mana pada saat itu perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam modal swasta (Ingleson dalam Hull; 1997:6).
Perluasan areal perkebunan terutama di Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian perkebunan-perkebunan di Sumatera dan pembangunan jalan raya serta jalur kereta api telah merangsang terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagian besar dari pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhada aktivitas prostitusi. Selama pembanguna kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyarakta dan Surabaya tahun 1884, tak hanya aktivitas pelacuran yang timbul untuk melayani para pekerja bangunan di setiap kota yang dilalui kereta api, tapi juga pembangunan tempat-tempat penginapan dan fasilitas lainnya meningkat bersamaan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan konstruksi jalan kereta api. Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api hampir di setiap kota. Contohnya di Bandung, kompleks pelacuran berkembang di beberapa lokasi di sekitar stasiun kereta api termasuk Kebonjeruk, Kebontangkil, Sukamanah, dan Saritem.
Hull juga menambahkan, (1997:7) di Yogyakarta, kompleks pelacuran didirikan di daerah Pasarkembang, Balongan, dan Sosrowijayan. Di Surabaya, kawasan pelacuran pertama adalah di dekat Stasiun Semut dan di dekat pelabuhan di daerah Kremil, Tandes, dan Bangunsari. Sebagian besar dari kompleks pelacuran ini masih beroperasi sampai sekarang, meskipun peranan kereta api sebagai angkutan umum telah menurun dan keberadaan tempat-tempat penginapan atau hotel-hotel di sekitar stasiun kereta api juga telah berubah.

Sumber:
www.tempointeraktif.com
http://www.kompas.com
http://akhmadsudrajat.wordpress.com

GENDER DAN IKLAN

Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, secara sadar atau tidak sadar, sengaja atupun tidak sengaja kita melihat iklan yang melakukan atau menunjukan diskriminasi gender. Media massa yang perkembangannya makin lama makin cepat menjadi kunci penting penanaman ideologi yang ada dalam masyarakat. Iklan-iklan tersebut tidak hanya berusaha mempengaruhi pihak konsumen untuk menggunakan produk tersebut tetapi juga sarat akan bias gender.
Dalam penyampaian pesannya iklan selalu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang menjadi sasaran produk tersebut. Kondisi masyarakat yang slalu menganggap pria lebih tinggi status sosialnya dari perempuan mau tidak mau, suka tidak suka akan membuat pihak pembuat iklan harus tunduk dan patuh terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat apabila ingin merebut simpati mereka terhadap produk yang ditawarkan.
Hampir setiap iklan saat ini selalu mengaitkan watak ikon yang mempunyai citra dalam pengiklanannya. Kecenderungan untuk membentuk image dan pertukaran nilai semakin memacu kreativitas para pembuat iklan agar bagaimana nilai dari produk tersebut dapat menarik selera atau menciptakan kebutuhan akan suatu komoditi. Para desainer iklan akan membuat iklan suatu produk seperti terlihat natural, kesatuan tanda yang diambil dari simbol-simbol sosial, serta nilai-nilai budaya yang ada dimasyarakat. Dari upaya membentuk citra inilah yang kemudian ditafsirkan menyentuh bias-bias gender.
Perubahan iklan kadang muncul dalam visualisasinya sebagai konsekuensiuntuk menjabarkan citra suatu komoditi agar dapat bersaing dengan produk kompetitor, dan juga sebagai ujung tombak daya tarik iklan. Pemahaman daya tarik (awareness) ini pun sering pula menjadi permasalahan para desainer iklan ketika membuat iklan sebuah komoditi yang mempunyai jumlah pesaing relatif banyak. Sehingga daya tarik serta citra telah menjadi fenomena yang tidak dapat terelakkan dalam merancang sebuah iklan. Kecenderungan yang kemudian tampak dalam visualisasi iklan adalah menempatkan obyek-obyek pilihan yang diakui sebagai ikon yang dapat diposisikan menempati urutan atas daya tarik visualisasi representasi iklan.
Perempuan sering menjadi alternatif pilihan sebagai obyek yang dapat menciptakan daya tarik serta merefleksikan citra. Bisa dilihat bahwa hanya untuk mengiklankan sebuah produk elektronik seperti televisi, perempuan pun di-casting dengan kostum yang agak sensual, atau bahkan ada representasi iklan televisi yang menampakkan perempuan dengan pakaian serba ketat serta dengan tarian yang erotik dimunculkan sebagai pendamping produk. Ada pula iklan permen yang diidentikkan dengan sebuah tarian tango, yang menampakkan perempuan dengan berbagai pose erotis.
Perempuan memang telah menjadi fenomena komoditas yang tak terelakkan dalam kancah komunikasi iklan. Perempuan telah menjadi sarana bagi daya tarik terhadap aktualisasi nilai produk. Sebuah produk yang pada kenyataannya mempunyai fungsi yang umum, telah dikomunikasikan tidak lagi bersifat fungsional tetapi sudah bergeser ke arah konsep gender. Femininitas seringkali menjadi ajang untuk membuat produk mempunyai nilai tertentu. ‘jantan’, ‘maskulin’, ‘eksklusif’, Pemberani telah menjadi idiom yang dimiliki oleh komoditi seperti rokok,suplemen, parfum, jamu/obat kuat lelaki, otomotif, dan lain sebagainya. Sedangkan sabun, shampoo, peralatan rumah tangga dan dapur sampai elektronik sering pula diartikan sebagai komoditi yang dekat dengan wilayah femininitas.
Perempuan saat ini sudah dijerumuskan lewat iklan. Perempuan dalam iklan telah menjadi korban kapitalisme yang dibelakangnya mengandung budaya patriakal semata.
Solusi
• Perempuan harus ditingkatkan kemampuan dengan cara meningkatkan ketrampilan, pengetahuan dan akses mereka terhadap teknologi informasi. Hal tersebut akan memperkuat kemampuan mereka untuk menghadapi gambaran-gambaran negatif tentang perempuan di media massa baik secara nasional maupun international, karena kebanyakan perempuan, terutama di negara-negara berkembang tidak mampu mengakses secara efektif jalur-jalur informasi elektronik yang semakin berkembang luas.
• Penggambaran citra perempuan yang negatif dan merendahkan secara terus menerus dalam media massa elektronik, cetak dan audio visual harus diubah. Media cetak dan elektronik dikebanyakan negara tidak memberikan gambaran yang seimbang tentang kehidupan dan sumbangsih perempuan kepada masyarakat. Selain itu juga produk-produk media massa yang penuh kekerasan dan menurunkan martabat perempuan atau bersifat pornografi juga membawa dampak negatif terhadap perempuan.
• Penempatan perempuan dalam suatau perfilman, periklanan dan sebagai hibur
an dalam penayangan televisi acapkali menyuguhkan bentuk pelecehan tersembunyi terhadap perempuan.
• Untuk menyikapi berbagai pemberitaan dan tayangan yang tidak berperspektif
Gender pemerintah dan insan media massa sudah berusaha untuk memperbaiki citranya.
• Mendorong media massa untuk menahan diri dan tidak menampilkan perempuan sebagai insan yang lemah dan menggunakan perempuan sebagai obyek dan komoditas seks. Sebaliknya media massa diharapkan mampu menampilkan perempuan sebagai insan yang kreatif, sebagai pelaku dan penyumbang utama dalam pembangunan serta penerima manfaat dari proses pembangunan.
• Meningkatkan kampanye secara luas dengan menggunakan program-program pendidikan umum dan swasta untuk memperluas informasi dan meningkatkan kesadaraan hak-hak perempuan.
• Mengadakan pelatihan media massa yang berperspektif gender bagi tenaga profesional media massa termasuk para pemilik dan pengelola media massa.
Untuk mendorong dihasilkannya kreasi-kreasi/produk media yang berperspektif gender.
• Mengajukan konsep yang mampu menggambarkan bahwa stereotipe-stereotipe wanita yang ditampilkan dalam media adalah diskriminatif terhadap gender serta menurunkan martabat dan merupakan penghinaan.
• Mengambil tindakan efektif atau melembagakan tindakan –tindakan semacam itu, termasuk melakukan tindakan hukum terhadap pornografi dan penonjolan kekerasan terhadap wanita dan anak-anak.

Sumber:
frderikus-fandi.blogspot.com
puslit.petra.ac.id
www.menegpp.go.id