Sunday, December 4, 2011

PELACURAN ANAK

Sekurangnya 150.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran anak dan pornografi tiap tahun. Angka itu meningkat 100 persen lebih dari statistik badan PBB, Unicef tahun 1998 yang mencatat sekitar 70.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran dan pornografi. Berdasarkan data ILO, pada 2002-2006 ditemukan sebanyak 165 ribu pelacur sekitar 30 persennya atau 49 ribu jiwa adalah anak di bawah usia 18 tahun.
Koordinator Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) Ahmad Sofian yang menjelaskan, 70 persen anak yang jadi korban berusia antara 14 tahun dan 16 tahun. Kejahatan yang menimpa mereka bervariasi, dari sindikat pelacuran, pedofilia, pornografi dan sebagainya.
Jumlah pelacur anak di kota besar Indonesia mencapai angka ribuan orang. Di Jakarta diperkirakan sekurangnya ada 10.000. Sedangkan mereka yang ditemukan di Sumatera Utara sebanyak 1.500 anak. Jumlah lebih kecil dari kenyataan karena pelacuran anak merupakan fenomena gunung es.
Muhammad Jailani, Direktur Eksekutif Kelompok Kerja Sosial Perkotaan, mengatakan, data tersebut masih merupakan jumlah sebagian yang sempat terdata. Jumlah pasti pelacur anak diperkirakan lebih besar dibanding angka yang sudah ditemukan
Tarif kencan pelacur anak lebih tinggi ketimbang pelacur dewasa bahkan mahasiswi. Sofian menjelaskan, tarif kencan pelacur anak Rp 400.000 hingga Rp 1,5 juta. Mereka terjun ke pelacuran karena materialisme dan mengikuti gaya hidup mewah.
Jaringan pelacuran anak di kalangan siswi sekolah memiliki database dan daftar nomor telepon pelacur anak. Kondisi itu terjadi merata di kota-kota besar. Kota-kota yang menjadi pusat ESKA adalah Batam, Bali, Jakarta, Surabaya, Medan, dan tiga kota berdekatan, yakni Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Anak-anak itu juga kerap diselundupkan ke luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Jepang dengan pelbagai modus.
Ahmad Taufan Damanik, Ketua Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) yang berbasis di Medan menyatakan, persoalan anak yang dilacurkan umumnya terjadi di perkotaan. Mereka sebagian besar berasal dari daerah-daerah yang datang ke kota karena iming-iming penghasilan lumayan, tapi dijerumuskan jadi pekerja seks.

Hukum lemah
Menurut Jailani, Direktur Eksekutif Kelompok Kerja Sosial Perkotaan, penanganan anak yang dilacurkan di Indonesia masih setengah hati dibandingkan negara-negara lain. Di Sumatera Utara pelarangan tidak diikuti dengan intrumen pelaksana serta anggaran yang cukup.
Eddie Imanuel Doloksaribu dari Lembaga Penelitian Atma Jaya Jakarta menjelaskan, laporan-laporan lembaga advokasi atas kasus ESKA tidak dapat ditindaklanjuti karena ketentuan hukum yang ada belum mengatur, termasuk pada Undang-Undang Anti Pornografi dan Porno Aksi yang baru saja disetujui DPR.
Di negara lain eksploitasi seksual atas anak diganjar hukuman keras. Semisal dua warga negara Indonesia yang ditangkap di Melbourne, Australia, diancam hukuman hingga 10 tahun dan denda Rp 2,3 miliar karena terlibat ESKA.

Sekilas Sejarah Pelacuran di Indonesia
Pelacuran telah terjadi sepanjang sejarah manusia. Namun menelusuri sejarah pelacuran di Indonesia dapat dirunut mulai dari masa kerajaan-kerajaan Jawa, di mana perdagangan perempuan di pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal (Hull; 1997:1-22). Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanana Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia (binatara). Kekuasaan raja Mataram sangat besar. Mereka seringkali dianggap menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba sahaya. Anggapan ini apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat ini mempunyai arti tersendiri.
Raja mempunyai kekuasaan penuh. Seluruh yang ada di atas Jawa, bumi dan seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, daun, dan segala sesuatunya adalah milik raja. Tugas raja pada saat itu adalah menetapkan hukum dan menegakkan keadilan; dan semua orang diharuskan mematuhinya tanpa terkecuali. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang selir tersebut adalah puteri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi merupakan persembahan dari kerajaan lain, ada juga selir yang berasal dari lingkungan keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana.
Sebagian selir raja ini dapat meningkat statusnya karena melahirkan anak-anak raja. Perempuan yang dijadikan selir tersebut berasal dari daerah tertentu yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Reputasi daerah seperti ini masih merupakan legenda sampai saat ini. Koentjoro (1989:3) mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur; dan menurut sejarah daerah ini merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Sultan Cirebon sebagai selir. (Hull, at al. 1997:2).
Makin banyaknya selir yang dipelihara, menurut Hull, at al. (1997:2) bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan fisik, mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi kekuasaan para raja dan membuktikan adanya kejayaan spiritual. Hanya raja dan kaum bangsawan dalam masyarakat yang mempunyai selir. Mempersembahkan saudara atau anak perempuan kepada bupati atau pejabat tinggi merupakan tindakan yang didorong oleh hasrat untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan, seperti tercermin dari tindakan untuk memperbanyak selir. Tindakan ini mencerminkan dukungan politik dan keagungan serta kekuasaan raja. Oleh karena itu, status perempuan pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang antaran) dan sebagai selir.
Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas hanya di Jawa, kenyataan juga terjadi di seluruh Asia, di mana perbudakan, sistem perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal. Di Bali misalnya, seorang janda dari kasta rendah tanpa adanya dukungan yang kuat dari keluarga, secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan memasukkan dalam lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur. Sebagian dari penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur (ENI, dalam Hull; 1997:3).
Bentuk industri seks yang lebih terorganisasi berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda (Hull; 1997:3). Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa. Umumnya, aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara. Pemuasan seks untuk para serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke Nusantara.
Dari semula, isu tersebut telah menimbulkan banyak dilema bagi penduduk pribumi dan non-pribumi. Dari satu sisi, banyaknya lelaki bujangan yang dibawa pengusaha atau dikirim oleh pemerintah kolonial untuk datang ke Indonesia, telah menyebabkan adanya permintaan pelayanan seks ini. Kondisi tersebut ditunjang pula oleh masyarakat yang menjadikan aktivitas memang tersedia, terutama karena banyak keluarga pribumi yang menjual anak perempuannya untuk mendapatkan imbalan materi dari para pelanggan baru (para lelaki bujangan) tersebut. Pada sisi lain, baik penduduk pribumi maupun masyarakat kolonial menganggap berbahaya mempunyai hubungan antar ras yang tidak menentu. Perkawinan antar ras umumnya ditentang atau dilarang, dan perseliran antar ras juga tidak diperkenankan. Akibatnya hubungan antar ras ini biasanya dilaksanakan secara diam-diam. Dalam hal ini, hubungan gelap (sebagai suami-istri tapi tidak resmi) dan hubungan yang hanya dilandasi dengan motivasi komersil merupakan pilihan yang tersedia bagi para lelaki Eropa. Perilaku kehidupan seperti ini tampaknya tidak mengganggu nilai-nilai sosial pada saat itu dan dibiarkan saja oleh para pemimpin mereka. (Hull; 1997:4).
Situasi pada masa kolonial tersebut membuat sakit hati para perempuan Indonesia, karena telah menempatkan mereka pada posisi yang tidak menguntungkan secara hukum, tidak diterima secara baik dalam masyarakat, dan dirugikan dari segi kesejahteraan individu dan sosial. Maka sekitar tahun 1600-an, pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang keluarga pemeluk agama Kristen mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu rumah tangga dan melarang setiap orang mengundang perempuan baik-baik untuk berzinah. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apa dan mana yang dimaksud dengan perempuan “baik-baik”. Pada tahun 1650, “panti perbaikan perempuan” (house of correction for women) didirikan dengan maksud untuk merehabilitasi para perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks orang-orang Eropa dan melindungi mereka dari kecaman masyarakat. Seratus enam belas tahun kemudian, peraturan yang melarang perempuan penghibur memasuki pelabuhan “tanpa izin” menunjukkan kegagalan pelaksanaan rehabilitasi dan juga sifat toleransi komersialisasi seks pada saat itu (ENOI, dalam Hull; 1997:5).
Tahun 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengana serangkaian aturan untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini. Kerangka hukum tersebut masih berlaku hingga sekarang. Meskipun istilah-istilah yang digunakan berbeda, tetapi hal itu telah memberikan kontribusi bagi penelaahan industri seks yang berkaitan dengan karakteristik dan dialek yang digunakan saat ini. Apa yang dikenal dengan wanita tuna susila (WTS) sekarang ini, pada waktu itu disebut sebagai “wanita publik” menurut peraturan yang dikeluarkan tahun 1852. Dalam peraturan tersebut, wanita publik diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi (pasal 2). Semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11).
Jika seorang perempuan ternyata berpenyakit kelamin, perempuan tersebut harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. Untuk memudahkan polisi dalam menangani industri seks, para wanita publik tersebut dianjurkan sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil. Sayangnya peraturan perundangan yang dikeluarkan tersebut membingungkan banyak kalangan pelaku di industri seks, termasuk juga membingungkan pemerintah. Untuk itu pada tahun 1858 disusun penjelasan berkaitan dengan peraturan tersebut dengan maksud untuk menegaskan bahwa peraturan tahun 1852 tidak diartikan sebagai pengakuan bordil sebagai lembaga komersil. Sebaliknya rumah pelacuran diidentifikasikan sebagai tempat konsultasi medis untuk membatasi dampak negatif adanya pelacuran. Meskipun perbedaan antara pengakuan dan persetujuan sangat jelas bagi aparat pemerintah, tapi tidak cukup jelas bagi masyarakat umum dan wanita publik itu sendiri. (Hull; 1997:5-6).
Dua dekade kemudian tanggung jawab pengawasan rumah bordil dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Peraturan pemerintah tahun 1852 secara efektif dicabut digantikan dengan peraturan penguasa daerah setempat. Berkaitan dengan aktivitas industri seks ini, penyakit kelamin merupakan persoalan serius yang paling mengkhawatirkan pemerintah daerah. Tetapi terbatasnya tenaga medis dan terbatasnya alternatif cara pencegahan membuat upaya mengurangi penyebaran penyakit tersebut menjadi sia-sia (ENOI dalam Hull; 1997:6).
Pengalihan tanggung jawab pengawasan rumah bordil ini menghendaki upaya tertentu agar setiap lingkungan permukiman membuat sendiri peraturan untuk mengendalikan aktivitas prostitusi setempat. Di Surabaya misalnya, pemerintah daerah menetapkan tiga daerah lokalisasi di tiga desa sebagai upaya untuk mengendalikan aktivitas pelacuran dan penyebaran penyakit kelamin. Selain itu, para pelacur dilarang beroperasi di luar lokalisasi tersebut. Semua pelacur di lokalisasi ini terdaftar dan diharuskan mengikuti pemeriksaan kesehatan secara berkala (Ingleson dalam Hull; 1997:6).
Tahun 1875, pemerintah Batavia (kini Jakarta), mengeluarkan peraturan berkenaan dengan pemeriksaan kesehatan. Peraturan tersebut menyebutkan, antara lain bahwa para petugas kesehatan bertanggung jawab untuk memeriksa kesehatan para wanita publik. Para petugas kesehatan ini pada peringkat kerja ketiga (tidak setara dengan eselon III zaman sekarang yaitu kepala biro pada organisasi pemerintahan) mempunyai kewajiban untuk mengunjungi dan memeriksa wanita publik pada setiap hari Sabtu pagi. Sedangkan para petugas pada peringkat lebih tinggi (peringkat II) bertanggung jawab untuk mengatur wadah yang diperuntukkan bagi wanita umumnya yang sakit dan perawatan lebih lanjut. Berdasarkan laporan pada umumnya meskipun telah dikeluarkan banyak peraturan, aktivitas pelacuran tetap saja meningkat secara drastis pada abad ke-19, terutama setelah diadakannya pembenahan hukum agraria tahun 1870, di mana pada saat itu perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam modal swasta (Ingleson dalam Hull; 1997:6).
Perluasan areal perkebunan terutama di Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian perkebunan-perkebunan di Sumatera dan pembangunan jalan raya serta jalur kereta api telah merangsang terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagian besar dari pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhada aktivitas prostitusi. Selama pembanguna kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyarakta dan Surabaya tahun 1884, tak hanya aktivitas pelacuran yang timbul untuk melayani para pekerja bangunan di setiap kota yang dilalui kereta api, tapi juga pembangunan tempat-tempat penginapan dan fasilitas lainnya meningkat bersamaan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan konstruksi jalan kereta api. Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api hampir di setiap kota. Contohnya di Bandung, kompleks pelacuran berkembang di beberapa lokasi di sekitar stasiun kereta api termasuk Kebonjeruk, Kebontangkil, Sukamanah, dan Saritem.
Hull juga menambahkan, (1997:7) di Yogyakarta, kompleks pelacuran didirikan di daerah Pasarkembang, Balongan, dan Sosrowijayan. Di Surabaya, kawasan pelacuran pertama adalah di dekat Stasiun Semut dan di dekat pelabuhan di daerah Kremil, Tandes, dan Bangunsari. Sebagian besar dari kompleks pelacuran ini masih beroperasi sampai sekarang, meskipun peranan kereta api sebagai angkutan umum telah menurun dan keberadaan tempat-tempat penginapan atau hotel-hotel di sekitar stasiun kereta api juga telah berubah.

Sumber:
www.tempointeraktif.com
http://www.kompas.com
http://akhmadsudrajat.wordpress.com

GENDER DAN IKLAN

Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, secara sadar atau tidak sadar, sengaja atupun tidak sengaja kita melihat iklan yang melakukan atau menunjukan diskriminasi gender. Media massa yang perkembangannya makin lama makin cepat menjadi kunci penting penanaman ideologi yang ada dalam masyarakat. Iklan-iklan tersebut tidak hanya berusaha mempengaruhi pihak konsumen untuk menggunakan produk tersebut tetapi juga sarat akan bias gender.
Dalam penyampaian pesannya iklan selalu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang menjadi sasaran produk tersebut. Kondisi masyarakat yang slalu menganggap pria lebih tinggi status sosialnya dari perempuan mau tidak mau, suka tidak suka akan membuat pihak pembuat iklan harus tunduk dan patuh terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat apabila ingin merebut simpati mereka terhadap produk yang ditawarkan.
Hampir setiap iklan saat ini selalu mengaitkan watak ikon yang mempunyai citra dalam pengiklanannya. Kecenderungan untuk membentuk image dan pertukaran nilai semakin memacu kreativitas para pembuat iklan agar bagaimana nilai dari produk tersebut dapat menarik selera atau menciptakan kebutuhan akan suatu komoditi. Para desainer iklan akan membuat iklan suatu produk seperti terlihat natural, kesatuan tanda yang diambil dari simbol-simbol sosial, serta nilai-nilai budaya yang ada dimasyarakat. Dari upaya membentuk citra inilah yang kemudian ditafsirkan menyentuh bias-bias gender.
Perubahan iklan kadang muncul dalam visualisasinya sebagai konsekuensiuntuk menjabarkan citra suatu komoditi agar dapat bersaing dengan produk kompetitor, dan juga sebagai ujung tombak daya tarik iklan. Pemahaman daya tarik (awareness) ini pun sering pula menjadi permasalahan para desainer iklan ketika membuat iklan sebuah komoditi yang mempunyai jumlah pesaing relatif banyak. Sehingga daya tarik serta citra telah menjadi fenomena yang tidak dapat terelakkan dalam merancang sebuah iklan. Kecenderungan yang kemudian tampak dalam visualisasi iklan adalah menempatkan obyek-obyek pilihan yang diakui sebagai ikon yang dapat diposisikan menempati urutan atas daya tarik visualisasi representasi iklan.
Perempuan sering menjadi alternatif pilihan sebagai obyek yang dapat menciptakan daya tarik serta merefleksikan citra. Bisa dilihat bahwa hanya untuk mengiklankan sebuah produk elektronik seperti televisi, perempuan pun di-casting dengan kostum yang agak sensual, atau bahkan ada representasi iklan televisi yang menampakkan perempuan dengan pakaian serba ketat serta dengan tarian yang erotik dimunculkan sebagai pendamping produk. Ada pula iklan permen yang diidentikkan dengan sebuah tarian tango, yang menampakkan perempuan dengan berbagai pose erotis.
Perempuan memang telah menjadi fenomena komoditas yang tak terelakkan dalam kancah komunikasi iklan. Perempuan telah menjadi sarana bagi daya tarik terhadap aktualisasi nilai produk. Sebuah produk yang pada kenyataannya mempunyai fungsi yang umum, telah dikomunikasikan tidak lagi bersifat fungsional tetapi sudah bergeser ke arah konsep gender. Femininitas seringkali menjadi ajang untuk membuat produk mempunyai nilai tertentu. ‘jantan’, ‘maskulin’, ‘eksklusif’, Pemberani telah menjadi idiom yang dimiliki oleh komoditi seperti rokok,suplemen, parfum, jamu/obat kuat lelaki, otomotif, dan lain sebagainya. Sedangkan sabun, shampoo, peralatan rumah tangga dan dapur sampai elektronik sering pula diartikan sebagai komoditi yang dekat dengan wilayah femininitas.
Perempuan saat ini sudah dijerumuskan lewat iklan. Perempuan dalam iklan telah menjadi korban kapitalisme yang dibelakangnya mengandung budaya patriakal semata.
Solusi
• Perempuan harus ditingkatkan kemampuan dengan cara meningkatkan ketrampilan, pengetahuan dan akses mereka terhadap teknologi informasi. Hal tersebut akan memperkuat kemampuan mereka untuk menghadapi gambaran-gambaran negatif tentang perempuan di media massa baik secara nasional maupun international, karena kebanyakan perempuan, terutama di negara-negara berkembang tidak mampu mengakses secara efektif jalur-jalur informasi elektronik yang semakin berkembang luas.
• Penggambaran citra perempuan yang negatif dan merendahkan secara terus menerus dalam media massa elektronik, cetak dan audio visual harus diubah. Media cetak dan elektronik dikebanyakan negara tidak memberikan gambaran yang seimbang tentang kehidupan dan sumbangsih perempuan kepada masyarakat. Selain itu juga produk-produk media massa yang penuh kekerasan dan menurunkan martabat perempuan atau bersifat pornografi juga membawa dampak negatif terhadap perempuan.
• Penempatan perempuan dalam suatau perfilman, periklanan dan sebagai hibur
an dalam penayangan televisi acapkali menyuguhkan bentuk pelecehan tersembunyi terhadap perempuan.
• Untuk menyikapi berbagai pemberitaan dan tayangan yang tidak berperspektif
Gender pemerintah dan insan media massa sudah berusaha untuk memperbaiki citranya.
• Mendorong media massa untuk menahan diri dan tidak menampilkan perempuan sebagai insan yang lemah dan menggunakan perempuan sebagai obyek dan komoditas seks. Sebaliknya media massa diharapkan mampu menampilkan perempuan sebagai insan yang kreatif, sebagai pelaku dan penyumbang utama dalam pembangunan serta penerima manfaat dari proses pembangunan.
• Meningkatkan kampanye secara luas dengan menggunakan program-program pendidikan umum dan swasta untuk memperluas informasi dan meningkatkan kesadaraan hak-hak perempuan.
• Mengadakan pelatihan media massa yang berperspektif gender bagi tenaga profesional media massa termasuk para pemilik dan pengelola media massa.
Untuk mendorong dihasilkannya kreasi-kreasi/produk media yang berperspektif gender.
• Mengajukan konsep yang mampu menggambarkan bahwa stereotipe-stereotipe wanita yang ditampilkan dalam media adalah diskriminatif terhadap gender serta menurunkan martabat dan merupakan penghinaan.
• Mengambil tindakan efektif atau melembagakan tindakan –tindakan semacam itu, termasuk melakukan tindakan hukum terhadap pornografi dan penonjolan kekerasan terhadap wanita dan anak-anak.

Sumber:
frderikus-fandi.blogspot.com
puslit.petra.ac.id
www.menegpp.go.id

Sunday, October 23, 2011

BEHAVIOR THERAPY

Perkenalan
Behaviour therapy adalah sebuah pendekatan secara klinis yang dapat dipakai untuk mengobati bermacam-macam gangguan, dalam berbagai tempat dan berbagai macam kelompok populasi sosial. Gangguan kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, gangguan makan, kekerasan dalam rumah tangga, penyimpangan seksual, manajemen penderitaan, dan hipertensi semuanya telah berhasil diobati dengan memakai pendekatan ini.
Prosedur perilaku ini digunakan pada beberapa area termasuk pengembangan ketidakmampuan, sakit mental, pendidikan dan special pendidikan, komunitas psikologi, psikologi klinis, rehabilitasi, bisnis, manajemen diri, psikologi olahraga, hubungan perilaku yang sehat, dan gerontology.

Latar belakang
Pada tahun 1960 Albert Bandura mengembangkan teori pembelajaran sosial yang mengkombinasikan classical dan operant conditioning dengan observational learning. Sejak tahun 1970anlah behaviour therapy terbukti sebagai sebuah kekuatan utama dalam psikologi dan membuat pengaruh yang signifikan pada pendidikan, psikologi, psikoterapi, psikiatri, dan pekerjaan sosial. Teknik-teknik perilaku dikembangkan dan diperluas dan teknik-teknik tersebut juga dipakai pada bidang-bidang seperti bisnis, industri, dan membesarkan anak. Pendekatan ini sekarang dipandang sebagai pilihan perlakuan untuk berbagai masalah psikologi.
Pada tahun 1980an dicirikan dengan sebuah penelitian untuk pembaharuan dimasa mendatang dalam konsep dan metode-metode yang akan melebihi teori pembelajaran tradisional.
Pada akhir tahun 1990an, behaviour therapy ditandai oleh adanya perbedaan sudut pandang dan prosedur, tetapi semua pelaksanaannya terfokus pada perilaku yang tampak, faktor-faktor yang menentukan perilaku, pengalaman-pengalaman pembelajaran untuk memajukan perubahan, dan penilaian serta evaluasi yang setepat-tepatnya.
4 Area Perkembangan
1. Classical Conditioning
Classical conditioning melihat perilaku tertentu responden, seperti lutut tersentak dan saliva, keduanya diperoleh dari organisme yang pasif. Pada tahun 1950an, Joseph Wolpe dan Arnold Lazarus serta Hans Eysenck mulai menggunakan penemuan-peneuan penelitian eksperimental dengan memakai hewan-hewan untuk membantu menangani phobia ditempat-tempat klinis. Pekerjaan mereka berdasarkan pada teori belajar Hulian dan Pavlovian (classical) Conditioning.
Tokoh utama adalah Ivan Pavlov, yaitu yang mengilustrasikan classical conditioning yang bereksperimen dengan anjing. Ketika makanan dikeluarkan, mulut anjing mengeluarkan air liur yang merupakan perilaku responden. Ketika makanan dimunculkan secara berulang-ulang dengan diikuti suara bel, kemungkinan anjing akan mengeluarkan air liurnya untuk suara dari bel itu sendiri. Bagaimanapun juga, jika bel dibunyikan berulang kali tapi tidak dipasangkan lagi dengan makanan, respon air liur stidaknya akan berkurang dan menjadi hilang.
2. Operant Conditioning
Termasuk tipe pembelajaran dimana perilaku dipengaruhi oleh sebagian besar konsekuensi-konsekuensi yang mengikutinya. Jika perubahan-perubahan lingkungan ditimbulkan oleh perilaku yang dikuatkan , maka jika mereka menyediakan tiap reward untuk organisme atau aversive stimuli yang dilenyapkan, mungkin sekali perilaku itu akan datang kembali. Jika perubahan-perubahan lingkungan menghasilkan aversive stimuli, kesempatan perilaku akan terulang lagi dan akan berkurang positif dan negative reinforcement, hukuman, dan teknik-teknik extinction.
Skinner berpendapat bahwa pembelajaran tidak dapat terjadi pada ketiadaan tiap jenis penguatan, salah satunya positif atau negative. Menurut Skiner, tindakan-tindakan yang dikuatkan cenderung diulangi dan tindakan yang tidak mendapat penguatan cenderung berkurang.

3. Social Learning Theory
Pendekatan belajar sosial dikembangkan oleh Albert BAndura Richard Walters (1963) yaitu saling berhubungan, saling disiplin, dan multimodal (Bandura, 1977, 1982). Perilaku dipengaruhi oleh tiap-tiap stimulus, baik dari penguatan eksternal maupun proses-proses mediational kognitif. Belajar sosial dan teori kognitif menghasilkan triadic hubungan resiprokal, diantaranya adalah lingkungan, faktor-faktor personal,(keyakinan, pilihan, pengharapan, persepsi diri dsb) dan perilaku individu. Menurut Bandura (1982, 1997) efikasi diri adalah keyakinan atau pengharapan individu bahwa mereka dapat menguasai situasi dan memberikan perubahan yang diinginkan. Teori efikasi diri mempresentasikan suatu wacana utama tentang kesatuan penjelasan teoritis bagaimana prosedur terap behaviour dan psikoterapi lain bekerja.
4. Cognitive Behaviour Therapy
Beberapa teknik yang dikembangkan dalam 3 dekade terakhir ini, menegaskan bahwa proses-proses kognitif menghasilkan event-event tersendiri seperti self-talk klien sebagai mediator perubahan perilaku. Pendekatan ini menawarkan metode-metode action-oriented yang bervariasi untuk membantu orang merubah apa yang mereka pikir dan lakukan.

KONSEP-KONSEP UTAMA
sudut pandang alami manusia
Terapy behaviour modern didasarkan pada sebuah sudut pandang perilaku manusia yang alami yang menunjukkan sebuah pendekatan yang terstruktur dan sistematis untuk konseling. Sudut pandang ini tidak terletak pada sebuah asumsi deterministic bahwa manusia-manusia adalah hasil dari kondisi sosiokultural mereka. Sepertinya sudut pandang yang sekarang yang menyatakan bahwa seseorang merupakan produser sekaligus hasil dari lingkungan mereka.
Pada behaviour therapy jaman sekarang lebih ke arah prosedur-prosedur perkembangan yang secara aktual memberi control pada klien dan meningkatkan tingkat kebebasan mereka. Behaviour therpy bertujuan untuk meningkatkan skill-skill seseorang sehingga mereka mempunyai pilihan yang lebih untuk merespon.
Secara filosofis, pendekatan behavioural dan humanistik mempunyai sudut pandang yang berbeda seperti kutub yang berlawanan. Lingkungan yang keras melihat dasar alami manusia pada sebuah stimulus-respon atau respon-konsekuensi model perilaku yang telah ditentang oleh Bandura (1974, 1977, 1986). Dia menolak model mekhanistic dan deterministik karena memiliki kepercayaan yang terpisah pada hal-hal yang menentukan lingkungan, dimana terdapat kesulitan-kesulitan yang mengingat akan kapasitas yang dimiliki untuk memberikan efek lingkungan yang nyata.

KARAKTERISTIK DAN ASUMSI DASAR
10 karakteristik kunci dari terapi behavior berdasarkan deskripsi dari Kazdin (2001), Miltenberger (2004), dan Spiegler dan Guevremont (2003) antara lain:
1. Terapi behavior didasarkan pada prinsip dan prosedur dari metode ilmiah. Dengan penelitian diperoleh dari prinsip-prinsip pembelajaran untuk membantu mengubah tingkah laku maladaptif. Terapis behavior menguraikan tujuan treatmen dalam tujuan konkret yang objektif untuk membuat adanya kemungkinan replikasi intervensi mereka. Tujuan ini disetujui oleh kedua pihak. Metode penelitian digunakan untuk mengevaluasi efektifitas prosedur assessmen dan treatmen. Secara singkat, konsep dan prosedur behavioral dinyatakan secara eksplisit, diuji secara empiris dan diperbaiki secara terus-menerus.
2. Terapi behavior memperlakukan masalah klien dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang menentang analisis kemungkinan determinan-determinan historikal. Penekanannya pada faktor-faktor spesifik yang mempengaruhi keberfungsian saat ini dan faktor-faktor yang dapat digunakan untuk memodifikasi performance. Terapis menggunakan teknik behavioral untuk mengubah faktor-faktor saat ini yang mempengaruhi TL klien serta dengan melihat masa lalu sebagai tambahan informasi kejadian yang berhubungan dengan TL saat ini.
3. Klien yang dilibatkan dalam terapi behavior diharapkan berperan aktif dengan ikut serta dalam aksi-aksi memperlakukan masalah mereka. Klien memantau TL mereka baik selama maupun di luar sesi terapi, belajar dan praktek skil coping dan role-play TL baru. Terapi behavior adalah pendekatan berorientasi tindakan, dan belajar adalah inti dari terapi.
4. Pendekatan behavioral menekankan mengajari klien skil-skil manajemen diri, dengan harapan bahwa mereka akan bertanggung jawab atas pergantian yang mereka pelajari dalam ruang terapis menuju kehidupan sehari-hari. Terapi behavior secara umum dibawa dalam lingkungan natural klien sebanyak mungkin.
5. Fokusnya adalah menilai TL baik yang jelas maunpun tersembunyi secara langsung, mengidentifikasi masalah, dan mengevaluasi perubahan. Assessmen langsung dari target masalah dilakukan melalui observasi atau pemantauan diri (self-monitoring). Terapis juga menilai kebudayaan klien sebagai bagian dari lingkungan sosial mereka, termasuk jaringan dukungan sosial yang berhubungan dengan target TL.
6. Terapi behavior menekankan pendekatan kontrol diri dimana klien belajar strategi-strategi manajemen diri. Terapis melatih klien untuk memulai, mengadakan dan mengevaluasi terapi mereka sendiri.
7. Intervensi treatmen behavioral secara individual disesuaikan dengan masalah spesifik yang dialami klien. Beberapa teknik terapi digunakan untuk memperlakukan masalah individu klien. Dalam hal ini harus disesuaikan treatmen apa, untuk siapa yang paling efektif dan tiap klien berbeda.
8. Praktek dari terapi behavior didasarkan pada hubungan kolaborasi antara terapis dan klien, dan setiap usaha dibuat untuk memberitau klien tentang bentuk dan jalannya treatmen.
9. Penekanannya adalah pada aplikasi prakteknya. Intervensi diaplikasikan dari berbagai segi dari kehidupan sehari-hari dimana TL maladaptif dikurangi dan TL adaptif ditingkatkan.
10. Terapis berusaha mengembangkan prosedur kultur spesifik dan memelihara ketaatan serta kooperasi klien.

PROSES TERAPEUTIK
Tujuan Terapeutik
Tujuan umum terapi behavior adalah meningkatkan pilihan individu dan menciptakan kondisi baru bagi pembelajaran. Klien dan terapis pada awal sesi membatasi tujuan proses terapeutik. Assessmen formal terlebih dulu dilakukan terhadap treatmen untuk menentukan tingkah laku yang menjadi target perubahan. Assessmen berkelanjutan selama terapi dapat menentukan apakah tujuannya sudah dicapai atau belum. Terapi behavior kontemporer menekankan peran aktif klien dalam menentukan treatmen mereka. Terapis membantu klien membuat tujuan spesifik yang dapat diukur. Terapis behavior dan klien mengubah tujuan selama proses terapeutik bila perlu.
Rangkaian dari tujuan yang dipilih dideskripsikan oleh Cormier dan Nurius. Proses ini menunjukkan hubungan kolaboratif dasar yang penting :
• Konselor menyediakan tujuan yang rasional, menjelaskan peranan tujuan dalam terapi, maksud atau kegunaan dari tujuan itu, dan partisipasi klien dalam proses penentuan tujuan.
• Klien mengenali hasil yang diinginkan dengan menentukan perubahan-perubahan yang dia inginkan dari konseling.
• Klien adalah orang yang mencari bantuan, dan hanya dia yang dapat melakukan perubahan. Konselor membantu klien menerima tanggung jawab atas perubahan.
• Nilai efek manfaat semua tujuan yang diidentifikasi diselidiki. Konselor dan klien mendiskusikan kemungkinan manfaat dan ketidakmanfaatan tujuan ini.
• Klien dan konselor kemudian memutuskan untuk melanjutkan mengikuti tujuan yang telah dipilih, untuk mempertimbangkan kembali tujuan awal klien, atau untuk mencari pelayanan dari praktisi lainnya.

Fungsi Dan Peranan Terapis
Terapis behavior cenderung untuk aktif dan langsung dan berfungsi sebagai konsultan dan pemecah masalah. Praktisi memperhatian tanda-tanda yang diberikan klien kemudian mengikuti dugaan klinis dari klien. Mereka menggunakan beberapa teknik umum seperti summarizing, refleksi, klarifikasi, serta pertanyaan terbuka dan tertutup. Tetapi, klinisi behavioral melaksanakan fungsi lainnya juga yaitu :
• Melaksanakan sebuah assessmen fungsional yang seksama untuk mengidentifikasi kondisi yang dipertahankan dengan pengumpulan informasi yang sistematis tentang penyebab situasi, dimensi masalah tingkah laku, dan akibat dari masalah itu.
• Membuat tujuan treatmen awal, dan mendisain serta menerapkan rencana treatmen untuk melaksanakan tujuan ini.
• Menggunakan strategi untuk menciptakan generalisasi dan memelihara perubahan tingkah laku.
• Mengevaluasi kesuksesan rencana perubahan dengan mengukur kemajuan ke arah tujuan selama durasi treatmen.
• Melaksanakan assessmen lanjutannya.

Pengalaman Klien dalam Terapi
Kontribusi unik dari terapi behavior adalah behavior terapi menyediakan terapis dengan sistem yang bagus dari prosedur yang dipakai. Baik terapis maupun klien memiliki peran yang jelas, dan ditekankan akan pentingnya kesadaran serta partisipasi klien dalam proses terapeutik. Terapi behavior dicirikan dengan peran aktif terapis dan klien. Peran terapis adalah mengajari skil-skil konkrit melalui pemberian instruksi, modeling, dan melalui feedback performance. Klien campur tangan dalam pengulangan behavioral dengan feedback sampai skil-skil telah dipelajari dengan baik dan umumnya menerima aktif tugas-tugas rumah (seperti pemantauan diri dari masalah behavioral). Klien harus dimotivasi untuk mengubah dan bekerja sama dalam aktivitas terapeutik, baik dalam sesi terapi maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Klien diberi semangat untuk bereksperimen terhadap tujuan untuk meningkatkan repertoir tingkah laku adaptif mereka. Mereka dibantu untuk menggeneralisasikan dan mentransfer pembelajaran yang didapat dalam situasi terapi menuju situasi di luar terapi. Verbalisasi dalam konseling digunakan ketika transfer perubahan dibuat dari sesi terapi menuju kehidupan sehari-hari dan ketika efek dari terapi diperluas di luar pengakhiran dimana treatmen dapat dianggap berhasil.
Klien memiliki frame of reference untuk menilai kemajuan mereka dalam menyelesaikan tujuan mereka. Ketika tujuan telah diselesaikan, maka klien dan terapis mengakhiri treatmen. Setelah terapi behavior yang sukses, klien mengamalkan pilihan-pilihan yang lebih baik dalam berperilaku.

Hubungan Antara Terapis dan Klien
Hubungan terapeutik yang baik dapat membantu proses perubahan behavioral dimana meningkatkan kesempatan klien agar mudah menerima terapi, bekerja sama dengan prosedur terapeutik, dan klien memiliki penerimaan positif serta harapan sukses mengenai efektivitas terapi. Kebanyakan praktisi behavioral mempertahankan faktor-faktor seperti kehangatan, empati, keautentikan, kepermisivan, dan penerimaan sangat dibutuhkan agar perubahan behavioral terjadi namun juga harus disertai dengan teknik-teknik behavioral sehingga tujuan dapat tercapai. Hubungan klien-terapis adalah fondasi dimana strategi terapeutik dibangun untuk membantu perubahan klien pada arah yang mereka harapkan.

Aplikasi teknik dan prosedur terapeutik
Penilaian tingkah laku, yang diawali dengan deskripsi tentang keluhan klien merupakan hal yang utama untuk terapi tingkah laku. Klien menyimpan catatan/memori tentang frekuensi dan intensitas kejadian, dan ini menjadi alat dalam membuat sebuah rencana pengobatan dan memutuskan apakah terapinya bekerja/berjalan. Ada beberapa instrumen penilaian yang praktis dan mudah digunakan, termasuk laporan isi laporan diri tak terhitung, skala rating tingkahlaku/kebiasaan, format penelitian diri, dan teknik penelitian sederhana untuk mengumpulkan informasi yang berguna untuk permasalahan klien. Metode penilaian tingkah laku dapat sepenuhnya digunakan untuk bekerja dengan klien dengan cakupan permasalahan yang berbeda.
Kekuatan dari pendekatan tingkah laku adalah pengembangan dari prosedur pengobatan spesifik yang harus ditunjukkan agar efektif dalam mencapai sasaran. Terapis tingkah laku memiliki hipotesis yang mereka jalankan dari menerapkan prosedur pengobatan, yang mana dapat diuji untuk kebenarannya. Hasil dari intervensi mereka menjadi jelas karena mereka memperoleh umpan balik secara berkesinambungan dari klien mereka.
Temuan utama yang dihasilkan oleh penelitian dalam terapi tingkah laku adalah hasil perawatan memiliki segi yang banyak (bermacam-macam). Tidak semua ada perubahan atau tidak ada sama sekali. Peningkatan mungkin terjadi di beberapa area tetapi tidak pada area lainnya. Semua peningkatan tidak terjadi pada waktu yang sama, dan diperoleh dibeberapa area yang mungkin berhubungan dengan area lain (Kazdin, 1982; Voltz & Evans, 1982).
Menurut Arnold Lazarus ( 1989, 1992b, 1997a, 2000b), seorang pelopor dalam terapi klinis perilaku, praktisi tingkah laku dapat disertakan dalam rencana perawatan mereka dengan semua teknik yang dapat ditunjukan demi keefektifan perubahan perilaku. Lazarus mendukung penggunaan teknik yang berbeda, dengan mengabaikan dasar teoritis mereka. Dalam pandangannya, semakin luas cakupan teknik terapi, semakin berpotensi efektif terapi tersebut. Jelas bahwa terapis perilaku tersebut harus tidak membatasi diri mereka untuk memperoleh metode dari teori belajar. Demikian juga, teknik tingkah laku dapat disatukan ke dalam pendekatan-pendekatan lain.
Prosedur pengobatan digunakan terapis perilaku secara rinci dan dirancang untuk klien tertentu. Terapis selalu kreatif dalam intervensi (campur tangan) mereka.

Penerapan analisis tingkah laku : teknik mempengaruhi keadaan
Bagian ini menguraikan beberapa prinsip utama dari mempengaruhi keadaan : penguatan positif, penguatan negatif, pemunahan, hukuman positif, dan hukuman negatif.
Dalam penerapan analisa perilaku, teknik pengaruh keadaan dan metode penilaian dan evaluasi diaplikasikan dalam sebuah cakupan luas permasalahan pada pengaturan yang berbeda (Kadzin, 2001).
Penguatan positif melibatkan penambahan sesuatu yang berharga pada individu seperti pujian, perhatian, uang atau makanan sebagai konsekuansi dari perilaku tertentu. Stimulus yang diikuti perilaku merupakan penguatan positif. Contohnya, seorang anak mendapat nilai sempurna dan dipuji orang tuanya. Bila dia menghargai pujian ini, ada kemungkinan dia akan memiliki keinginan untuk mengejar nilai yang baik dimasa mendatang. Jika tujuan dari suatu program adalah untuk mengurangi atau menghapuskan perilaku yang tidak diinginkan, penguatan positif sering digunakan untuk meningkatkan frekuensi dari perilaku yang lebih diinginkan, yang mengganti perilaku yang tidak diinginkan.
Penguatan negatif melibatkan jalan keluar atau penghindaran rangsangan. Individu yang termotivasi untuk memperlihatkan suatu perilaku yang diinginkan untuk menghindari kondisi yang tidak diinginkan. Contohnya, seorang teman ku tidak suka dibangunkan dengan suara alarm jam yang melengking. Dia telah melatih dirinya untuk bangun beberapa menit sebelum alarm berbunyi.
Metode mengubah perilaku yang lain adalah pemunahan, yang mengacu pada penahanan penguatan dari penguatan respon sebelumnya. Dalam penerapan pengaturan, pemunahan dapat digunakan untuk perilaku yang telah dirawat oleh penguatan pasitif atau penguatan negatif. Sebagai contoh, anak-anak yang memperlihatkan tingkah marah dibantu dengan memberikan perhatian dari orang tua mereka. Suatu pendekatan untuk mangimbangi permasalahan perilaku adalah mengeliminasi koneksi antara perilaku tertentu (kemarahan) dan penguatan positif (perhatian). Bila itu dilakukan akan dapat mengurangi atau menghilangkan efek tersebut, seperti kemarahan dan agresi. Pemunahan dapat mengurangi maupun menghapuskan perilaku tersebut, tetapi pemunahan tidak akan mengganti respon tersebut yang telah dimusnahkan. Karena alasan ini, pemunahan harus sering digunakan pada program pembenahan/perbaikan perilaku dengan beberapa strategi penguatan (Kazdin, 2001).
Cara lainnya perilaku dikontrol melalui hukuman, dimana konsekuensi pada beberapa perilaku tertentu mengakibatkan penurunan dari perilaku tersebut. Tujuan dari penguatan adalah untuk meningkatkan perilaku target, tetapi tujuan dari hukuman adalah untuk menurunkan perilaku target. Miltenberger (2004) menjelaskan 2 jenis hukuman yang mungkin terjadi sebagai konsekuensi dari perilaku : hukuman positif dan hukuman negatif. Dalam hukuman positif suatu stimulus ditambahkan pada perilaku untuk menurunkan frekuensi dari perilaku ( seperti tamparan di pantat seorang anak karena kelakuan buruk atau teguran pada seorang siswa karena nakal di kelas). Dalam hukuman negatif penguatan stimulus dihilangkan/dipindahkan mengikuti perilaku untuk mengurangi frekuensi perilaku target (seperti mengurangi gaji seorang pekerja karena jam kerja yang hilang, atau menghapus jam televisi dari anak-anak karena kelakuan buruk). Dalam jenis hukuman itu,perilaku akan lebih sedikit terjadi dimasa mendatang.
Skinner (1948) percaya hukuman memiliki nilai terbatas dalam mengubah perilaku dan selalu dengan cara yang tidak diinginkan untuk mengubah perilaku. Dia menentang penggunaan kendali atau hukuman, dan merekomendasikan penguatan positif sebagai pengganti. Prinsip kuncinya adalah menggunakan paling sedikit alat yang mungkin untuk merubah perilaku, dan penguatan positif merupakan yang terkuat sebagai pengganti. Skinner percaya pada nilai dalam menganalisis faktor lingkungan untuk kedua penyebab dan perbaikan untuk permasalahan perilaku dan menantang bahwa manfaat terbesar pada individu ke suatu masyarakat dengan penggunaan penguatan positif yang sistematis sebagai jalan menuju kendali perilaku (Nye, 2000).
Penulis lain juga telah menunjukkan efek samping dari hukuman dan menyimpulkan bahwa walaupun hukuman mungkin menghapuskan perilaku target tetapi penggunaan teknik ini terus menerus mengakibatkan efek samping yang tidak diinginkan dan sering susah untuk dikendalikan (Kazdin, 2001; miltenberger, 2004). Sebagian efek samping ini adalah reaksi emosional atas hukuman, mencari jalan keluar dan perilaku menghindar, penguatan negatif untuk penggunaan hukuman, modeling penggunaan hukuman, dan isu etis. Hukuman harus digunakan hanya setelah pendekatan yang telah diterapkan dan ditemukan untuk tidak efektif dalam mengubah masalah prilaku (Kazdin, 2001; miltenberger, 2004).
Ada suatu tempat untuk hukuman pada program perubahan perilaku, tapi hukuman harus digunakan hanya untuk melengkapi strategi penguatan yang mengarah pada pengembangan lain yang sesuai dengan perilaku (Kazdin, 2001).

Model Assesmen Fungsional
Miltenberger ( 2004) menguraikan bagaimana cara untuk berhadapan dengan masalah perilaku melalui langkah demi langkah assesmen fungsional dan program perawatan :
1. Langkah pertama yaitu melakukan suatu dugaan fungsional untuk mengumpulkan data tentang masa lalu dan konsekuensi yang secara fungsional dihubungkan dengan kejadian dari permasalahan perilaku.
2. Untuk melakukan suatu dugaan fungsional, menggunakan kedua metode tidak langsung (interview perilaku atau kuisioner untuk mengumpulkan informasi tentang permasalahan perilaku) dan metode pengamatan langsung.
3. Berdasarkan pada pengumpulan informasi dari dugaan fungsional, terapis mengembangkan hipotesis tentang sifat alami dari masalah perilaku dan kondisi-kondisi yang mendukung perilaku ini.
4. Ketika fungsi masalah perilaku yang berbeda dikenali, perawatan fungsional ditujukan untuk menunjukkan masa lalu dan hipotesis konsekuensi untuk memelihara masalah perilaku. Perawatan fungsional meliputi teknik-teknik di bawah ini :
• Penguatan diferensial dari perilaku yang diinginkan untuk mengganti masalah perilaku, yang mungkin meliputi prosedur penguatan positif dan negative.
• Pemunahan masalah perilaku dengan menahan penguatan ( dikenali pada proses dugaan fungsional ) yang ditemukan untuk perawatan masalah.
• Mendahulukan prosedur control yang mana pendahuluan dimanipulasi dalam percobaan untuk mencegah terjadinya permasalah perilaku dan mempromosikan perilaku alternatif untuk mengganti masalah perilaku.
5. Prosedur hukuman negatif mungkin digunakan untuk mengurangi masalah perilaku, tetapi hanya setelah pendekatan fungsional telah dicoba.
6. Setelah metode perawatan ini digunakan, sangat penting untuk mengembangkan strategi mempromosikan penyamarataan suatu pemeliharaan perilaku yang telah terjadi.

Pelatihan relaksasi dan metoda yang berhubungan
Pelatihan relaksasi telah mulai popular sebagai metode mengajar orang untuk mengatasi tekanan yang disebabkan kehidupan sehari-hari. Hal itu mengarah pada keberhasilan otot dan relaksasi mental dan mudah dipelajari. Setelah klien belajar dasar dari prosedur relaksasi, sangat penting bagi mereka untuk berlatih latihan ini setiap hari nuntuk memperoleh hasil maksimal.
Pelatihan relaksasi melibatkan beberapa komponen yang secara khas diperlukan 4 hingga 8 jam instruksi. Klien diberi satu set instruksi yang menanyakan mereka untuk rileks. Mereka mengasumsikan suatu posisi pasif dan rileks dalam lingkungan yang tenang. Bernafas dalam dan tenang juga menghasilkan relaksasi. Pada waktu yang sama klien belajar untuk bermental “lepas”, mungkin dengan memfokuskan pada gambaran atau pikiran yang menyenangkan. Klien didukung untuk benar-benar merasakan dan mengalami kenaikan itu, untuk mengetahui otot mereka mulai tegang dan mempelajari kenaikan ini, dan untuk menahan dan sepenuhnya mengalami kenaikan ini. Ini juga berguna untuk klien dalam mengalami perbedaan antara suatu tegangan dan suatu relaksasi. Relaksasi menjadi ditanggapi dengan baik, yang mana menjadi suatu kebiasaan bila dilatih setiap hari dalam 20 atau 25 menit.
Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi Sistematis yang didasarkan pada prinsip kondisi klasik, adalah dasar prosedur tingkah laku yang dikembangkan oleh Joseph Wolpe, seorang pelopor terapi perilaku. Bayangan klien lebih menimbulkan ketertarikan pada waktu yang sama bahwa mereka terlibat dalam suatu perilaku yang bersaing dengan kecemasan. Prosedur ini bisa dipertimbangkan sebagai format terapi pembukaan karena klien diminta untuk membuka diri mereka agar tertarik untuk membayangkan sesuatu sebagai jalan untuk menurunkan kecemasan
Sebelum menerapkan prosedur desensitisasi, terapis memeriksa interview awal untuk mengidentifikasi informasi spesifik untuk mengumpulkan informasi latar belakang yang relevan tentang klien. Interview ini, yang mungkin menjadi bagian terakhir, memberi terapis pengertian yang baik tentang siapakah klien. Terapis mempertanyakan pada klien tentang keadaan tertentu yang menimbulkan kondisi ketakutan.
Cormier dan Nurius (2003), mendeskripsikan beberapa langkah dalam menggunakan system desensitization:
1.Relaxation training
2.Development of the anxiety hierarchy
3.Sistem desentization yang benar
1.Relaxation training
Terapis bersikap sangat tenang, lembut dan berbicara dengan nyaman untuk meningkatkan relaksasi otot.Klien diminta untuk membayangkan lebih dahulu situasi-situasi yang menyenangkan,.Hal ini penting agar klien mendapatkan ketenangan dan kedamaian.Klien kemudian dibimbing bagaimana cara merelaksasi seluruh otot sambil memvisulisasikakan macam-macam bagian tubuh dengan tekanan pada otot wajah.Otot lengan direlaksasi terlebih dahulu, dilanjutkan otot kepala, leher dan bahu, punggung, perut dan ronga dada dan kemudian kaki.Klien diminta untuk berlatih relaksas diluar sesi selama 30 menit setiap hari.
2.Menyusun Tingkatan Kecemasan
Terapis bersama dengan klien menyusun suatu tingkatan kecemasan kedalam wilayah-wilayah tertentu, seperti penolakan, cemburu, ketidak setujuan, kritikan atau suatu phobia yang teranalisa.Terapis membuat sebuah daftar bertingkat mengenai situasi-situasi yang dapat menyebabkan peningkatan kecemasan atau penghindaran.Tingkatan disusun kedalam situasi yang paling buruk yang dapat dibayangkan oleh klien ke situasi yang dapat menimbulkan kecemasan yang tarafnya paling rendah.Jika klien telah ditentukan memiliki kecemasan yang berhubungan dengan penolakan.Misalnya, situasi yang dapat menimbulkan kecemasan tertinggi boleh jadi penolakan oleh pasangannya kemudian penolakan oleh teman dekat dan kemudian oleh teman kerja.Situasi yang tingkat mengganggunya paling rendah boleh jadi penolakan oleh orang yang tak dikenal klien dalam sebuah pesta.
3.Sistem Desensitisasi
Desensitization dimulai setelah beberapa sesi interview lengkap.Proses desensitisation dengan keadaan klien yang rileks dengan mata tertutup. Terapis menciptakan keadaan yang netral sementara klien diminta untuk membayangkan dirinya berada didalamnya.Jika klien mampu untuk tetap santai, mintalah dirinya untuk membayangkan dirinya berada dalm keadaan yang dapat menimbulkan kecemasan yang tingkatnya paling rendah.Terapis terus mengungkapkan secara bertingkat keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan kecemasan sampai klien menunjukkan bahwa dia mengalami kecemasan, dan pada saat itulah pengungkapan situasi oleh terapis diakhiri.Kemudan relaksasi dilakukan lagi dan terapis kembali mengungkapkan keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan kecemasan.Treatmen diakhiri saat klien mampu untuk tetap dalam kondisi relaks saat membayangkan kondisi yang sebelumnya paling mengganggu dan menimbulkan kecemasan.
Inti dari system desensitisasi adalah mengulang proses membayangkan situasi-situasi yang dapat menimbulkan kecemasan tanpa mengalami konsekuensi negatif.

TERAPI EXPOSURE
Terapi exposure di desain untuk menangani ketakutan dan respon emosi negative lainnya dengan mengenalkan klien pada kondisi-kondisi yang dapat nenimbulkan kecemasan, di bawah kondisi yang terkontrol oleh terapis.
In Vivo Desensitization
Melibatkan klien untuk mengekspos situasi nyata yang menakutkan dalam kehidupan sehari-harinya.Klien dapat menghentikan exposure-nya jika dirinya mengalami kecemasan tingkat tinggi.
Flooding (Pembanjiran)
Bentuk lain terapi ekspose adalah flooding (pembanjiran), yang mengacu pada in vivo atau imaginal ekspose untuk menimbulkan stimulus pembangkit kecemasan untuk suatu periode yang diperpanjang.Karakteristik dari semua terapi ekspose adalah walaupun klien mengalami kecemasan sepanjang pengeksposan, konsekuensi negative tidak terjadi.
In vivo flooding terdiri dari menguatkan dan memperpanjang ekspose yang menghasilkan stimuli untuk merangsang kecemasan yang nyata Secara umum,rasa takut yang tinggi pada klien mempertahankan kecemasan mereka melalui penggunaan perilaku maladaptive.di dalam flooding, klien dicegah dari penggunaan respon maladapitf saat berada dalam situasi yang membangkitkan kecemasan.
Imaginal flooding didasarkan pada prinsip-prisip yang sama dan mengikuti prosedur yang sama kecuali terjadi ekspose pada imajinasi klien di kehiduapan sehari-harinyaKeuntungan menggunakan imaginal flooding pada in vivo flooding adalah bahwa tidak ada pembatasan sifat alami situasi-situasi yang membangkitkan kecemasan yang dapat diperlakukan.

EYE MOVEMENT DESENSITIZATION and REPROCESSING (EMDR)
EMDR adalah salah satu bentuk terapi exposure yang melibatkan imajinasi pembajiran (imaginal flooding), pembentukan ulang pola pikir dan menggunakan kecepatan, irama pergerakan mata dan rangsangan dari dua belah pihak untuk menangani klien yang mengalami traumatic stress. EMDR dikembangkan oleh Francine Shapiro (2001), Prosedur terapi ini mengambil cakupan luas dari intervensi behavioral.Di desain untuk membantu klien yang menghadapi gangguan stress pascatrauma.
EMDR terdiri atas delapan tahap inti yang banyak diambil dari prosedur yang digunakan dalam terapi behavior:
1. EMDR digunakan untuk menolong klien membentuk kembali pola pikir mereka atau untuk memproses ulang informasi yang mereka miliki.Seperti halnya pada terapi behavior, tahap awal pada perawatan ini membutuhkan pemahaman akan masalah klien, mengidentifikasi dan mengevaluasi tujuan perawatan secara spesifik.
2. Tahap persiapan melibatkan sebuah terapi kelompok.Terapis menjelaskan proses dan pengaruh EMDR, mendiskusikan tujuan dan harapan yang mungkin dimiliki klien, tahap ini dimulai dengan melakukan relaksasi dan nenciptakan suasana yang nyaman saat klien dpat mempertahankan imajinasi emosinya.
3. Tahap assessment (pengukuran) meliputi, identifikasi memori traumatis yang menimbulkan kecemasan, identifikasi sensasi emosional dan fisik yang dihubungkan dangan peristiwa traumatis, evaluasi terhadap skala Subjective Unit of Disturbance (SUD), identifikasi terhadap kognisi negative yang dihubungkan dengan peristiwa yang mengganggu, dan menemukan suatu kepercayaan adaptif yang akan mengurangi tingkat kecemasan.
4. Di dalam tahap desentisasi, klien diminta untuk memvisualisasikan gambaran traumatiknya, menuturkan kepercayaan maladaptifnya, dan memperhatikan sensasi fisiknya.Proses pengeksposan terbatas, klien diminta untuk mengekspose keadaan yang paling mengganggu selama kurang dari semenit tiap sesinya..Klien diminta untuk (1)membuang pengalaman negatifnya.(2)melaporkan apa yang dibayangkannya, dirasakan dan dipikirkannya.
5. Tahap Instalasi terdiri dari penerapan dan peningkatan kekuatan pola pikir (kognisi) positif klien yang telah teridentifikasi sebagai pengganti pola pikir negatif.Kenyataan untuk mengasosiasikan peristiwa traumatic dengan kepercayaan yang adaptif sehingga memori tidak lagi mampu menimbulkan kecemasan dan pikiran negatif.Fokus yang menjadi kekuatan pada klien adalah memiliki positive self assessment (penilaian diri yang positif), yang menjadi hal sangat penting untuk mencapai peningkatan terapi.
6. Setelah pola pikir positif ditanamkan, klien diminta untuk memvisualisasikan peristiwa traumatic dan pola pikir positifnya kemudian terapis memeriksa badannya dari atas sampai bawah dan mengidentifikasi tegangan seluruh tubuhnya.Pemeriksaan selesai ketika klien mampu memvisualisasikan peristiwa tersebut, dan pada saat yang sama, sebagian kecil tubuh mengalami ketegangan dan tetap mampu berpikir positif.
7. Penting untuk menutup tiap-tiap sesi dengan baik.Terapis hendaknya mengingatkan klien bahwa dirinya mungkin akan mengalami gangguan imajinasi, emosi, dan pemikiran antara tiap-tiap sesi.Klien diminta untuk mencatat dalam buku harian atau jurnal dan merekam hal-hal yang mengganggunya..Beberapa intervensi dari klien diharapkan untuk melakukan beberapa kegiatan selama proses perawatan seperti relaksasi, menciptakan imajinasi, meditasi, self monitoring, dan latihan pernafasan.
8. Mengevaluasi kembali perawatan yang sudah dijalani, hendaknya diterapkan pada awal masing-masing sesi baru.Tahap EMDR yang terakhir meliputi beberapa proses behavioural, yaitu: reconceptualisasi permasalahan klien, penetapan tujuan baru proses terapi, melaksanakan desensitisasi lebih lanjut , melanjutkan tugas merestukturisasi aspek kognitif, melanjutkan proses self monitoring , dan secara kolaboratif mengevaluasi hasil perawatan.

ASSERTION TRAINING
Banyak orang yang merasa kesulitan untuk membuat keputusan yang tegas bagi diri mereka sendiri. Orang dengan keterampilan sosial yang kurang seringkali mengalami kesulitan interpersonal di rumah, di tempat kerja, di sekolah, dan selama waktu luang. Assertion training sangat berguna bagi:
1. orang yang tidak dapat menunjukkan kemarahan atau kejengkelan
2. orang yang kesulitan berkata ’tidak’
3. orang yang terlalu sopan dan membiarkan orang lain mengambil keuntungan dari dirinya
4. orang yang kesulitan mengekspresikan afeksi dan respon-respon positif lainnya
5. orang yang merasa bahwa mereka tidak punya hakuntuk menyatakan pemikiran, keyakinan, dan perasaannya
6. orang yang menderita phobia sosial
Asumsi dasar yang mendasari assertion training adalah bahwa seseorang mempunyai hak (bukan kewajiban) untuk mengekspresikan dirinya. Salah satu tujuan assertion training adalah untuk meningkatkan kemampuan berperilaku individu sehingga mereka dapat membuat pilihan reaksi apa yang akan ditunjukkan dalam situasi tertentu. Tujuan lainnya adalah mengajarkan seseorang untuk mengekspresikan dirinya dengan cara-cara yang merefleksikan sensitivitasnya terhadap perasaan dan hak-hak orang lain. Asersi bukan berarti agresi. Jadi, seseorang yang benar-benar asertif tidak akan egois hanya mempertahankan haknya saja dan mengabaikan perasaan orang lain.
Beberapa metode assertion training didasarkan pada prinsip-prinsip terapi kognitif behavioral. Umumnya, terapis mengajarkan dan memberi contoh perilaku yang diharapkan muncul pada klien. Perilaku-perilaku tersebut diajarkan dalam ruang terapi dan kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Assertion training biasa dilaksanakan berkelompok. Jika format kelompok digunakan, modeling dan instruksi-instruksi diberikan pada semua anggota kelompok. Para anggota kemudian berlatih kemampuan berperilaku secara bergantian (role-play). Setelah latihan tersebut, para anggota diberi feedback (umpan balik) yang berisi penguatan atas aspek-aspek perilaku yang benar dan instruksi-instruksi tentang bagaimana memperbaiki perilaku tersebut. Masing-masing anggota ikut serta dalam latihan berperilaku asertif yang lebih jauh sampai kemampuannya ditunjukkan secara adekuat dalam berbagai situasi simulasi (latihan) (Miltenberger,2004).

SELF MANAGEMENT PROGRAMS & SELF-DIRECTED BEHAVIOR
Dalam program self management individu membuat keputusan mengenai perilaku spesifik yang ingin mereka kontrol/rubah. Beberapa contoh umum adalah mengendalikan perilaku merokok, mabuk atau memakai obat terlarang, belajar pembelajaran dan kemampuan mengatur waktu, serta menghadapi obesitas dan terlalu banyak makan. Seseorang kadang menemukan bahwa alasan utama mereka tidak dapat mencapai tujuan adalah kekurangan kemampuan-kemampuan tertentu atau pengharapan yang tidak realistis. Dalam area-area tertentu pendekatan self directed dapat menyediakan panduan untuk perubahan dan sebuah rencana yang akan mengarahkan pada perubahan.
Lima karakteristik dari program self management yang efektif dikemukakan oleh Cormier dan Nurius :
1. Kombinasi dari berbagai strategi self management biasanya lebih berguna daripada hanya satu strategi tunggal
2. Usaha self management harus dilakukan terus-menerus dalam suatu periode atau efektivitasnya untuk memunculkan perubahan yang signifikan terbatasi
3. Klien perlu untuk membuat self evaluation dan menentukan tujuan-tujuan yang sanga bermakna pribadi bagi mereka
4. Pemakaian self reinforcement adalah sebuah komponen penting dari program self management
5. Kadang dukungan dari lingkungan dibutuhkan untuk mempertahankan perubahan-perubahan yang dihasilkan dari program self management
Meskipun harapan bisa menjadi faktor terapeutik yang menyebabkan perubahan, harapan yang tidak realistis dapat membuka jalan bagi suatu pola kegagalan dalam sebuah program self change. Jika ingin sukses dalam program seperti ini, dibutuhkan sebuah analisis yang hati-hati dan tahap-tahap dasar dari program self management yang disediakan oleh Watson dan Tharp (2002) ini harus diikuti:
1. Memilih tujuan
Tahap pertama dimulai dengan menetapkan perubahan apa yang diinginkan. Tujuan-tujuan harus ditetapkan sat itu juga dan tujuan itu harus dapat diukur, dapat dicapai, positif, dan penting bagi orang tersebut. Harapan sebaiknya realistis.
2. Mewujudkan tujuan-tujuan ke dalam perilaku target
Berikutnya, tujuan-tujuan yang telah dipilih diwujudkan dalam perilaku-perilaku target. Pertanyaan kuncinya adalah,”Perilaku spesifik apa yang ingin aku tingkatkan atau kurangi?”
3. Self monitoring
Satu tahap pertama yang penting dalam self directed change adalah proses self monitoring, di mana klien dengan sengaja dan sistematis mengobservasi perilaku mereka sendiri. Salah satu metode paling sederhana untuk mengobservasi perilaku adalah dengan membuat catatan harian behavioral. Kejadian dari perilaku-perilaku khusus dicatat oleh klien, bersama dengan komentar-komentar mengenai isyarat-isyarat anteseden yang relevan dan konsekuensi-konsekuensi.
4. Menyusun sebuah rencana perubahan
Tahap ini dimulai dengan membandingkan antara informasi yang dihasilkan dari self monitoring dan standar klien untuk perilaku spesifik. Setelah klien membuat evaluasi atas perubahan behavioral yang ingin mereka dapatkan, mereka melaksanakan sebuah perubahan aktual yang termasuk metode seperti punishment, stimulus control, behavioral contracts dan dukungan sosial. Beberapa tipe sistem self reinforcement diperlukan dalam rencana ini karena reinforcement adalah inti dari terapi behavior modern. Self reinforcement adalah strategi sementara yang digunakan klien sampai mereka sukses mengimplementasikan perilaku baru mereka dalam kehidupan sehari-hari. Sangatlah penting klien mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan bahwa mereka mempertahankan perubahan yang telah mereka capai.
5. Evaluasi sebuah rencana aksi
Untuk menentukan sejauh mana klien mencapai tujuan mereka, sangat perlu untuk mengevaluasi rencana perubahan tersebut. Rencana tersebut terus menerus diperbaiki dan direvisi sambil klien mencari cara lain untuk mencapai tujuannya. Evaluasi adalah sebuah proses terus-menerus dan bukan hanya kejadian sesaat dan self change adalah sebuah latihan seumur hidup.
Kesuksesan usaha self change dimulai dengan menentukan suatu tujuan realistis dan menyediakan sebuah rencana konkrit untuk mencapai perubahan perilaku. Strategi self management sudah diterapkan pada beberapa populasi dan masalah seperti kecemasan, depresi, dan rasa sakit. Penelitian atas self management telah dilaksanakan dalam berbagai macam masalah kesehatan antara lain arthritis, asma, kanker, penyakit jantung, penyalahgunaan zat, diabetes, sakit kepala, gangguan penglihatan, nutrisi dan perawatan kesehatan diri. (Cormier & Nurius,2003).

TERAPI MULTIMODAL: TERAPI CLINICAL BEHAVIOR
Terapi multimodal adalah sebuah sebuah pendekatan yang komprehensif, sistematis, dan holistik dalam terapi behavior yang dikembangkan oleh Arnold Lazarus. Pendekatan ini berkembang dalam teori belajar sosial dan teori kognitif dan menggunakan teknik-teknik behavioral dalam mengatasi berbagai macam permasalahan. Model ini menyatakan bahwa kita adalah makhluk sosial yang bergerak, merasa, mengerti, membayangkan, dan berpikir.
Terapi multimodal adalah sebuah sistem terbuka yang mendukung technical eclecticism. Teknik baru yang secara konstan diperkenalkan dan memperbaiki teknik-teknik yang sudah ada, namun tidak pernah digunakan dalam tatacara yang dipaksakan.

TECHNICAL ECLECTICISM
Terapis multimodal meminjam teknik-teknik dari beberapa sistem terapi lain. Beberapa teknik yang mereka gunakan di dalam terapi individual antara lain: training manajemen kecemasan (Anxiety-Management Training), behavior rehearsal, bibliotherapy, biofeedback, communication training, contingency contracting, mediation, positive imagery, positive reinforcement, relaxation training, self instruction training, sensate focus training, time projection, dan thought stopping. Sebagian besar taknik-teknik tersebut adalah metode-metode behavioral standar yang diambil dari 4 cabang utama pendekatan behavioral.
Para terapis mengakui bahwa beberapa klien yang datang mengikuti terapi perlu mempelajari keterampilan-keterampilan dan terapis harus mau mengajarkan, melatih, mendidik, memberi contoh, dan mengarahkan kliennya. Mereka secara ksusus berfungsi sebagai penyedia informasi, instruksi, dan reaksi. Mereka menantang keyakinan-keyakinan self defeating, menawarkan feedback yang konstruktif, memberikan reinforcement positif dan self disclosing yang tepat. Sangatlah perlu terapis memulai dari mana klien berada dan kemudian bergerak ke dalam area-area produktif lain untuk dieksplorasi. Kegagalan untuk memahami situasi klien dapat dengan mudah menyebabkan klien merasa terasing dan salah paham (Lazarus,2000b).

THE BASIC I.D.
Esensi dari pendekatan multimodal Lazarus adalah premis yang menyatakan bahwa kepribadian kompleks manusia dapat dibagi dalam 7 area fungsi utama, yaitu: B = Behavior, A = Affective responses, S = Sensations, I = Images, C = Cognitions, I = Interpersonal relationship, dan D = Drugs, biological functions, nutrition dan exercise (Lazarus). Meskipun modalitas-modalitas tersebut saling berpengaruh, mereka dapat dipertimbangkan sebagai fungsi-fungsi tersendiri.
Terapi multimodal dimulai dengan sebuah asesmen komprehensif atas ketujuh modalitas fungsi manusia dan interaksi antar modalitas-modalitas tersebut. Sebuah asesmen yang komplit dan program treatment harus memberikan keterangan masing-masing modalitas dari BASIC ID tersebut, di mana peta kognitif saling berhubungan dengan masing-masing aspek kepribadian.
Pendekatan Multimodal ini didasarkan pada tipe-tipe pertanyaan yang diajukan Lazarus :
1. Behavior. Model ini mengarah pada perilaku berterus terang, termasuk di dalamnya tindakan, kebiasaan, reaksi yang dapat diamati dan dapat diukur. Contoh : “apa yang ingin kau ubah?” “seberapa aktif dirimu?”
2. Afeksi. Model ini mengarah pada emosi, suasana hati, perasaan yang kuat. Contoh : “apa yang dapat membuatmu tertawa, sedih, menangis, senang, takut?”
3. Sensasi. Model ini mengarah pada panca indera.
Contoh : “sensasi seperti apa yang paling kau sukai atau tidak kau sukai dari melihat, memcium, mendengarkan, menyentuh, dan merasa?”
4. Imajinasi. Model ini mengarah pada cara dimana kita menggambarkan diri sendiri, dan di dalamnya terdapat kenangan, mimpi, dan fantasi.
Contoh : “bagaimana kamu melihat tubuhmu?” “bagaiman kamu melihat dirimu sendiri?”
5. Kognitif. Model ini mengarah pada kemampuan untuk mengerti, filosofi, ide, opini, dan judgement, juga sikap, dan kepercayaan.
Contoh : “bagaiman pemikiran-pemikiranmu dapat berdampak pada emosimu?” “apakah hal-hal negatif yang kau katakan pada dirimu?”
6. Hubungan Interpersonal. Model ini berhubungan pada interaksi dengan orang lain.
Contoh : “apa yang kau harapkan dari orang-orang dalam hidupmu?” “adakah beberapa hubungan dengan beberapa orang yang ingin kau ubah?”
7. Obat-obatn/Biologis. Tidak hanya meliputi obat-obatan, tetapi juga kebiasaan-kebiasaan klien yang berhubungan dengan nutrisi dan olahraga mereka.
Contoh : “apakah anda memperhatikan kesehatan anda?” “apakah kebiasaan-kebiasaanmu

Terapi Ringkas dan Menyeluruh
Terapi komprehensif dan menyeluruh ini termasuk di dalamnya mengoreksi ketidakpercayaan, perilaku devian, perasaan tidak suka, dan kemungkinan biokemikal yang tidak seimbang. Terapis multimodal percaya bahwa klien belajar banyak dalam terapi sedangkan kemungkinana terkecilnya adalah masalah-masalah lama yang akan terjadi lagi.
Franks menyatakan : “Terapi ringkas multimodal adalah terapi behavior dalam salah satu bentuk paling popular. Efisien, efektif, teachable, dan menyeluruh tanpa menjadi kaku.
Terapis mengidentifikasi satu isu specific dari masing-masing aspek dari BASIC I.D. Kerangka kerja sebagai sebuah target untuk mengubah dan mengajari klien sebuah susunan teknik yang dapat mereka gunakan untuk melawan pikiran yang bersalah, untuk belajar bersikap santai dalam situasi stres, dan untuk mendapat kemampuan interpersonal efektif.

Terapis Peran Multimodal
Terapis multimodal menjaga untuk menjadi sangat aktif selama sesi terapi, memfungsikan sebagai trainer, pengajar, konsultan, dan contoh peran. Mereka memberikan informasi, instruksi, dan timbale balik seperti contoh perilaku asertif, menantang penolakan kepercayaan, menawarkan saran, menawarkan reinforcement positif, dan menjadi lebih membuka diri.
Terapi panggilan efektif bagi konselor untuk menjadi “bunglon otentik”(Lazarus, 1993), yang berarti bahwa sesuatu dimainkan secara fleksibel dalam gaya berhubungan adalah sama pentingnya dengan teknik meningkatkan hasil perawatan. Terapis butuh untuk membuat beberapa pilihan rasa menyesal dengan berbagai gaya berbeda dalam berhubungan dengan klien. Mereka akan memutuskan kapan dan bagaimana secara langsung terlibat atau hanya sekadar mendukung, dingin atau hangat, formal atau informal, dan kuat atau lembut. Yang terpenting adalah kemampuan terapis untuk menggabungkan gaya berhubungan yang paling sesuai.

Penggabungan Teknik Behavioral dengan Pendekatan Psikoanalitik Kontemporer
Aspek-aspek terapi behavior dapat dikombinasikan dengan sejumlah pendekatan-pendekatan terapeutik.
• Dalam fase pertama, konselor harus mampu untuk mendengar cerita dari klien, untuk mengerti dunia fenomenologi mereka, dan untuk membangun rapor dengan mereka. Pada fase ini konselor harus menggali perasaan menyesal klien dari masa lalu dan keadaan sekarang dan contoh pemikiran yang mempengaruhi interpretasi klien terhadap dunia.
• Dalam fase kedua, insight ini jarang memungkinkan klien untuk mengakui dan mengekspresikan kenangan-kenangan buruk, perasaan-perasaan, dan pikiran-pikiran. Karena klien mampu untuk memproses yang direpresi sebelumnya dan memori disosiasi dan perasaan dalam konseling, perubahan-perubahan kognitif dalam persepsi diri dan yang jarang terjadi. Karena klien sedang mengusahakan secara kognitif proses penstrukturan ulang situasi hidup, mereka mandapatkan sesuatu yang baru dan beradaptasi dengan cara berpikir, berperasaan, dan meniru.
• Dalam fase ketiga dan perawatan fase akhir, dimana merupakan fase tindakan. Saat bagi klien untuk berusaha memperbarui perilaku berdasarkan pada kemampuan insight, pengertian, dan penstrukturan ulang kognitif yang dipeoleh pada fase konseling teradahulu. Pengakhiran konseling adalah sebuah keputusan yang berdasarkan pada perubahan kualitatif dalam hubungan klien dan gaya hidup.
Berdasarkan Morgan dan MacMillan (1999), terdapat peningkatan dalam literature bahwa teknik kognitif behavioral perlu diperhatikan, perubahan-perubahan kognitif klien. Mengadaptasi dari konsep dasar pemikiran psikoanalisis untuk menghubungkan terapi secara ringkas membuat pendekatan-pendekatan ini berguna dalam terapi waktu-terbatas.

TERAPI BEHAVIOR DARI SEBUAH PERSPEKTIF MULTIKULTURAL
Kontribusi untuk Konseling Multikultural
Terapi behavior memiliki beberapa keuntungan dibandingkan teori-teori lain yang bekerja dalam populasi multikultural. Karena kebudayaan dan latar belakang etnik mereka, beberapa klien memegang nilai-nilai yang berlawanan terhadap pengekspresian perasaan dan saling berbagi antarindividu. Konseling behavioral tidak menitikberatkan pada pengalaman katarsis. Yakni mengubah perilaku spesifik dan mengembangkan kemampuan menyelesaikan-masalah. Klien yang merencanakan tindakan dan perubahan behavioral memungkinkan untuk bekerja sama dengan pendekatan ini karena mereka dapat melihat bahwa hal itu menawarkan pada mereka metode-metode kongkrit untuk berdamai dengan permasalahan-permasalahan hidup mereka.
Tanaka Matsumi dkk (2002) menyatakan bahwa terapi behavior berdasarkan pada sebuah analisis eksperimental behavior dalam lingkungan social klien. Pendekatan behavioral telah bergerak melebihi perlakuan terhadap masalah behavioral klien. Hal ini memberikan penekanan pada suatu assessment yang cermat untuk memastikan bahwa tidak hanya kondisi tertentu yang bias menimbulkan masalah pada klien, tetapi juga klien mau menerima perubahan pada tingkah lakunya dan apakah perubahan tesebut memberikan peranan yang penting dalam kehidupan klien.
Dalam membuat suatu assessment yang tepat terapis behavioral memasukkan konteks kebudayaan. Dimana tingkah laku klien juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan social budaya klien. Sumber-sumber atau pengaruh yang kuat yang didapat dari lingkungan disekeliling klien dapat membawa perubahan terhadap klien.

KETERBATASAN DALAM KONSELING MULTIKULTURAL
Menurut Spiegler & Guevremont (2003), tantangan kedepan untuk terapis behavioral adalah untuk mengembangkan secara empiris didasarkan rekomendasi tentang bagaimana terapi behavioral dapat secara optimal melayani bermacam-macam klien dengan budaya yang berbeda-beda. Meskipun terapi behavioral sensitive terhadap perbedaan antara klien delam pengertian yang luas terapis behavioral memerlukan untuk menjadi lebih responsive terhadap isu-isu khusus yang menyinggung semua bentuk perbedaan. Karena ras, gender etnik dan orientasi seksual adalah factor yang kritis yang mempengaruhi proses dan hasil dari terapi. Ketika klien membuat perubahan secara personal yang signifikan sangat mungkin bahwa orang-orang disekeliling klien akan bereaksi secara berbeda terhadap perubahan tingkah laku klien. Oleh karena itu, sebelum memutuskan terlalu cepat dalam pencapaian tujuan terapi konselor dank lien memerlukan diskusi tentang keuntungan dan kerugian dari perubahan yang akan dialami oleh klien.

RANGKUMAN DAN EVALUASI.
Terapi behavioral mempunyai karaktiristik khusus dalam berbagai hal. Tidak hanya pada konsep dasar tetapi juga pada teknik-tekniknya yang dapat diaplikasikan langsung dalam menanggulangi masalah-masalah khusus. Pergerakan behavioral memasukkan 4 mayor area dalam perkembangannya : Operant Conditioning, Classical Conditioning, Teori Belajar Sosial dan meningkatkan perhatian kepada faktor-faktor kognitif yang mempengaruhi tingkah laku.

Kontribusi Terapi Tingkah Laku
Keuntungan seorang terapis tingkah laku yaitu memiliki spesifikasi teknik tingkah laku yang mereka berikan.Terapis menggunakan berbagai strategi tingkah laku untuk membantu klien menyatukan rencana dalam tindakannya untuk mengubah tingkah laku. Dasar terapi tingkah laku yaitu terpusat pada klien, terapis harus aktif mendengarkan, empati, respek, memberikan positif reinforcement dan memiliki kesiapan dalam memberikan kerangka tingkah laku. Terapi tingkah laku ini digunakan dalam dunia kesehatan, ilmu kesehatan anak, program rehabilitasi, dan manajemen stress. Pendekatan ini memiliki kontribusi untuk psikologi mental khususnya membantu klien mempertahankan hidup yang sehat.
Kontribusi terapi tingkah laku juga menitikberatkan pada penelitian dan pengukuran hasil treatment. Seandainya hasil tidak diperoleh, maka terapis mengkaji ulang hasil analisis dan treatment yang direncanakan. Terapis tingkah laku menggunakan teknik pengalaman yang dirasakan oleh klien, dimana klien akan menerima treatment yang efektif dan relatif singkat. Kekuatan dalam pendekatan terapi tingkah laku adalah menitikberatkan pada tanggungjawab dan tingkah laku apa yang seharusnya dirubah. Klien memiliki kebebasan untuk memutuskan terapi apa yang akan digunakan.
Keterbatasan dan Kritikan dalam Terapi Tingkah Laku
1. Terapi tingkah laku mungkin dapat mengubah tingkah laku, tetapi tidak mengubah perasaan. Beberapa kritik menyatakan bahwa perasaan harus dirubah dahulu sebelum tingkah laku dirubah. Ahli tingkah laku berkeyakinan bahwa bukti empiris tidak menunjukkan bahwa perasaan harus dirubah terlebih dahulu dan ahli klinis menyatakan bahwa perasaan sebagai sebuah bagian dari proses treatment yang diterapkan.
2. Terapi tingkah laku mengabaikan faktor hubungan yang penting dalam terapi. Perubahan terjadi apabila dalam hubungan klien dan terapis terabaikan dalam proses terapi tingkah laku. Walaupun terapis tidak menempatkan bobot dalam variabel hubungan, tetapi mereka mengetahui bahwa hubungan pekerjaan yang baik dengan klien merupakan pondasi/dasar yang diperlukan untuk keefektifan teknik yang digunakan. Lazarus menyatakan “ hubungan adalah tanah yang memungkinkan teknik untuk berakar”
3. Terapi tingkah laku tidak menyediakan pemahaman yang mendalam. Seandainya pernyataan itu benar terapis tingkah laku seharusnya merespon bahwa pemahaman yang mendalan tidak diperlukan. Mereka tidak fokus pada insight sebab tidak ada fakta yang jelas bahwa insight adalah hasil kritikan. Perilaku dapat berubah secara langsung.
4. Terapi tingkah laku menangani gejala-gejala daripada sebab-sebabnya. Asumsi psikoanalisis bahwa peristiwa traumatik merupakan akar permasalahan. Terapis tingkah laku mengetahui bahwa respon tingkah laku yang menyimpang memiliki sejarah dan sejarah hidup seseorang penting dalam menyelesaikan masalah. Akan tetapi terapis tingkah laku mengutamakan perubahan keadaan lingkungan untuk mengubah tingkah laku. Mereka tidak menerima bahwa gejala-gejala merupakan manifestasi dalam konflik intrapsikis.
5. Terapi tingkah laku melibatkan kontrol dan manipulasi oleh terapis. Semua terapis memiliki hubungan yang kuat dan kontrol dengan klien. Kadzin (2001) percaya tidak ada persoalan kontrol dan manipulasi yang dihubungkan dengan strategi tingkah laku yang tidak juga dilakukan oleh pendekatan terapi yang lain.

BEHAVIOR THERAPY

Perkenalan
Behaviour therapy adalah sebuah pendekatan secara klinis yang dapat dipakai untuk mengobati bermacam-macam gangguan, dalam berbagai tempat dan berbagai macam kelompok populasi sosial. Gangguan kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, gangguan makan, kekerasan dalam rumah tangga, penyimpangan seksual, manajemen penderitaan, dan hipertensi semuanya telah berhasil diobati dengan memakai pendekatan ini.
Prosedur perilaku ini digunakan pada beberapa area termasuk pengembangan ketidakmampuan, sakit mental, pendidikan dan special pendidikan, komunitas psikologi, psikologi klinis, rehabilitasi, bisnis, manajemen diri, psikologi olahraga, hubungan perilaku yang sehat, dan gerontology.

Latar belakang
Pada tahun 1960 Albert Bandura mengembangkan teori pembelajaran sosial yang mengkombinasikan classical dan operant conditioning dengan observational learning. Sejak tahun 1970anlah behaviour therapy terbukti sebagai sebuah kekuatan utama dalam psikologi dan membuat pengaruh yang signifikan pada pendidikan, psikologi, psikoterapi, psikiatri, dan pekerjaan sosial. Teknik-teknik perilaku dikembangkan dan diperluas dan teknik-teknik tersebut juga dipakai pada bidang-bidang seperti bisnis, industri, dan membesarkan anak. Pendekatan ini sekarang dipandang sebagai pilihan perlakuan untuk berbagai masalah psikologi.
Pada tahun 1980an dicirikan dengan sebuah penelitian untuk pembaharuan dimasa mendatang dalam konsep dan metode-metode yang akan melebihi teori pembelajaran tradisional.
Pada akhir tahun 1990an, behaviour therapy ditandai oleh adanya perbedaan sudut pandang dan prosedur, tetapi semua pelaksanaannya terfokus pada perilaku yang tampak, faktor-faktor yang menentukan perilaku, pengalaman-pengalaman pembelajaran untuk memajukan perubahan, dan penilaian serta evaluasi yang setepat-tepatnya.
4 Area Perkembangan
1. Classical Conditioning
Classical conditioning melihat perilaku tertentu responden, seperti lutut tersentak dan saliva, keduanya diperoleh dari organisme yang pasif. Pada tahun 1950an, Joseph Wolpe dan Arnold Lazarus serta Hans Eysenck mulai menggunakan penemuan-peneuan penelitian eksperimental dengan memakai hewan-hewan untuk membantu menangani phobia ditempat-tempat klinis. Pekerjaan mereka berdasarkan pada teori belajar Hulian dan Pavlovian (classical) Conditioning.
Tokoh utama adalah Ivan Pavlov, yaitu yang mengilustrasikan classical conditioning yang bereksperimen dengan anjing. Ketika makanan dikeluarkan, mulut anjing mengeluarkan air liur yang merupakan perilaku responden. Ketika makanan dimunculkan secara berulang-ulang dengan diikuti suara bel, kemungkinan anjing akan mengeluarkan air liurnya untuk suara dari bel itu sendiri. Bagaimanapun juga, jika bel dibunyikan berulang kali tapi tidak dipasangkan lagi dengan makanan, respon air liur stidaknya akan berkurang dan menjadi hilang.
2. Operant Conditioning
Termasuk tipe pembelajaran dimana perilaku dipengaruhi oleh sebagian besar konsekuensi-konsekuensi yang mengikutinya. Jika perubahan-perubahan lingkungan ditimbulkan oleh perilaku yang dikuatkan , maka jika mereka menyediakan tiap reward untuk organisme atau aversive stimuli yang dilenyapkan, mungkin sekali perilaku itu akan datang kembali. Jika perubahan-perubahan lingkungan menghasilkan aversive stimuli, kesempatan perilaku akan terulang lagi dan akan berkurang positif dan negative reinforcement, hukuman, dan teknik-teknik extinction.
Skinner berpendapat bahwa pembelajaran tidak dapat terjadi pada ketiadaan tiap jenis penguatan, salah satunya positif atau negative. Menurut Skiner, tindakan-tindakan yang dikuatkan cenderung diulangi dan tindakan yang tidak mendapat penguatan cenderung berkurang.

3. Social Learning Theory
Pendekatan belajar sosial dikembangkan oleh Albert BAndura Richard Walters (1963) yaitu saling berhubungan, saling disiplin, dan multimodal (Bandura, 1977, 1982). Perilaku dipengaruhi oleh tiap-tiap stimulus, baik dari penguatan eksternal maupun proses-proses mediational kognitif. Belajar sosial dan teori kognitif menghasilkan triadic hubungan resiprokal, diantaranya adalah lingkungan, faktor-faktor personal,(keyakinan, pilihan, pengharapan, persepsi diri dsb) dan perilaku individu. Menurut Bandura (1982, 1997) efikasi diri adalah keyakinan atau pengharapan individu bahwa mereka dapat menguasai situasi dan memberikan perubahan yang diinginkan. Teori efikasi diri mempresentasikan suatu wacana utama tentang kesatuan penjelasan teoritis bagaimana prosedur terap behaviour dan psikoterapi lain bekerja.
4. Cognitive Behaviour Therapy
Beberapa teknik yang dikembangkan dalam 3 dekade terakhir ini, menegaskan bahwa proses-proses kognitif menghasilkan event-event tersendiri seperti self-talk klien sebagai mediator perubahan perilaku. Pendekatan ini menawarkan metode-metode action-oriented yang bervariasi untuk membantu orang merubah apa yang mereka pikir dan lakukan.

KONSEP-KONSEP UTAMA
sudut pandang alami manusia
Terapy behaviour modern didasarkan pada sebuah sudut pandang perilaku manusia yang alami yang menunjukkan sebuah pendekatan yang terstruktur dan sistematis untuk konseling. Sudut pandang ini tidak terletak pada sebuah asumsi deterministic bahwa manusia-manusia adalah hasil dari kondisi sosiokultural mereka. Sepertinya sudut pandang yang sekarang yang menyatakan bahwa seseorang merupakan produser sekaligus hasil dari lingkungan mereka.
Pada behaviour therapy jaman sekarang lebih ke arah prosedur-prosedur perkembangan yang secara aktual memberi control pada klien dan meningkatkan tingkat kebebasan mereka. Behaviour therpy bertujuan untuk meningkatkan skill-skill seseorang sehingga mereka mempunyai pilihan yang lebih untuk merespon.
Secara filosofis, pendekatan behavioural dan humanistik mempunyai sudut pandang yang berbeda seperti kutub yang berlawanan. Lingkungan yang keras melihat dasar alami manusia pada sebuah stimulus-respon atau respon-konsekuensi model perilaku yang telah ditentang oleh Bandura (1974, 1977, 1986). Dia menolak model mekhanistic dan deterministik karena memiliki kepercayaan yang terpisah pada hal-hal yang menentukan lingkungan, dimana terdapat kesulitan-kesulitan yang mengingat akan kapasitas yang dimiliki untuk memberikan efek lingkungan yang nyata.

KARAKTERISTIK DAN ASUMSI DASAR
10 karakteristik kunci dari terapi behavior berdasarkan deskripsi dari Kazdin (2001), Miltenberger (2004), dan Spiegler dan Guevremont (2003) antara lain:
1. Terapi behavior didasarkan pada prinsip dan prosedur dari metode ilmiah. Dengan penelitian diperoleh dari prinsip-prinsip pembelajaran untuk membantu mengubah tingkah laku maladaptif. Terapis behavior menguraikan tujuan treatmen dalam tujuan konkret yang objektif untuk membuat adanya kemungkinan replikasi intervensi mereka. Tujuan ini disetujui oleh kedua pihak. Metode penelitian digunakan untuk mengevaluasi efektifitas prosedur assessmen dan treatmen. Secara singkat, konsep dan prosedur behavioral dinyatakan secara eksplisit, diuji secara empiris dan diperbaiki secara terus-menerus.
2. Terapi behavior memperlakukan masalah klien dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang menentang analisis kemungkinan determinan-determinan historikal. Penekanannya pada faktor-faktor spesifik yang mempengaruhi keberfungsian saat ini dan faktor-faktor yang dapat digunakan untuk memodifikasi performance. Terapis menggunakan teknik behavioral untuk mengubah faktor-faktor saat ini yang mempengaruhi TL klien serta dengan melihat masa lalu sebagai tambahan informasi kejadian yang berhubungan dengan TL saat ini.
3. Klien yang dilibatkan dalam terapi behavior diharapkan berperan aktif dengan ikut serta dalam aksi-aksi memperlakukan masalah mereka. Klien memantau TL mereka baik selama maupun di luar sesi terapi, belajar dan praktek skil coping dan role-play TL baru. Terapi behavior adalah pendekatan berorientasi tindakan, dan belajar adalah inti dari terapi.
4. Pendekatan behavioral menekankan mengajari klien skil-skil manajemen diri, dengan harapan bahwa mereka akan bertanggung jawab atas pergantian yang mereka pelajari dalam ruang terapis menuju kehidupan sehari-hari. Terapi behavior secara umum dibawa dalam lingkungan natural klien sebanyak mungkin.
5. Fokusnya adalah menilai TL baik yang jelas maunpun tersembunyi secara langsung, mengidentifikasi masalah, dan mengevaluasi perubahan. Assessmen langsung dari target masalah dilakukan melalui observasi atau pemantauan diri (self-monitoring). Terapis juga menilai kebudayaan klien sebagai bagian dari lingkungan sosial mereka, termasuk jaringan dukungan sosial yang berhubungan dengan target TL.
6. Terapi behavior menekankan pendekatan kontrol diri dimana klien belajar strategi-strategi manajemen diri. Terapis melatih klien untuk memulai, mengadakan dan mengevaluasi terapi mereka sendiri.
7. Intervensi treatmen behavioral secara individual disesuaikan dengan masalah spesifik yang dialami klien. Beberapa teknik terapi digunakan untuk memperlakukan masalah individu klien. Dalam hal ini harus disesuaikan treatmen apa, untuk siapa yang paling efektif dan tiap klien berbeda.
8. Praktek dari terapi behavior didasarkan pada hubungan kolaborasi antara terapis dan klien, dan setiap usaha dibuat untuk memberitau klien tentang bentuk dan jalannya treatmen.
9. Penekanannya adalah pada aplikasi prakteknya. Intervensi diaplikasikan dari berbagai segi dari kehidupan sehari-hari dimana TL maladaptif dikurangi dan TL adaptif ditingkatkan.
10. Terapis berusaha mengembangkan prosedur kultur spesifik dan memelihara ketaatan serta kooperasi klien.

PROSES TERAPEUTIK
Tujuan Terapeutik
Tujuan umum terapi behavior adalah meningkatkan pilihan individu dan menciptakan kondisi baru bagi pembelajaran. Klien dan terapis pada awal sesi membatasi tujuan proses terapeutik. Assessmen formal terlebih dulu dilakukan terhadap treatmen untuk menentukan tingkah laku yang menjadi target perubahan. Assessmen berkelanjutan selama terapi dapat menentukan apakah tujuannya sudah dicapai atau belum. Terapi behavior kontemporer menekankan peran aktif klien dalam menentukan treatmen mereka. Terapis membantu klien membuat tujuan spesifik yang dapat diukur. Terapis behavior dan klien mengubah tujuan selama proses terapeutik bila perlu.
Rangkaian dari tujuan yang dipilih dideskripsikan oleh Cormier dan Nurius. Proses ini menunjukkan hubungan kolaboratif dasar yang penting :
• Konselor menyediakan tujuan yang rasional, menjelaskan peranan tujuan dalam terapi, maksud atau kegunaan dari tujuan itu, dan partisipasi klien dalam proses penentuan tujuan.
• Klien mengenali hasil yang diinginkan dengan menentukan perubahan-perubahan yang dia inginkan dari konseling.
• Klien adalah orang yang mencari bantuan, dan hanya dia yang dapat melakukan perubahan. Konselor membantu klien menerima tanggung jawab atas perubahan.
• Nilai efek manfaat semua tujuan yang diidentifikasi diselidiki. Konselor dan klien mendiskusikan kemungkinan manfaat dan ketidakmanfaatan tujuan ini.
• Klien dan konselor kemudian memutuskan untuk melanjutkan mengikuti tujuan yang telah dipilih, untuk mempertimbangkan kembali tujuan awal klien, atau untuk mencari pelayanan dari praktisi lainnya.

Fungsi Dan Peranan Terapis
Terapis behavior cenderung untuk aktif dan langsung dan berfungsi sebagai konsultan dan pemecah masalah. Praktisi memperhatian tanda-tanda yang diberikan klien kemudian mengikuti dugaan klinis dari klien. Mereka menggunakan beberapa teknik umum seperti summarizing, refleksi, klarifikasi, serta pertanyaan terbuka dan tertutup. Tetapi, klinisi behavioral melaksanakan fungsi lainnya juga yaitu :
• Melaksanakan sebuah assessmen fungsional yang seksama untuk mengidentifikasi kondisi yang dipertahankan dengan pengumpulan informasi yang sistematis tentang penyebab situasi, dimensi masalah tingkah laku, dan akibat dari masalah itu.
• Membuat tujuan treatmen awal, dan mendisain serta menerapkan rencana treatmen untuk melaksanakan tujuan ini.
• Menggunakan strategi untuk menciptakan generalisasi dan memelihara perubahan tingkah laku.
• Mengevaluasi kesuksesan rencana perubahan dengan mengukur kemajuan ke arah tujuan selama durasi treatmen.
• Melaksanakan assessmen lanjutannya.

Pengalaman Klien dalam Terapi
Kontribusi unik dari terapi behavior adalah behavior terapi menyediakan terapis dengan sistem yang bagus dari prosedur yang dipakai. Baik terapis maupun klien memiliki peran yang jelas, dan ditekankan akan pentingnya kesadaran serta partisipasi klien dalam proses terapeutik. Terapi behavior dicirikan dengan peran aktif terapis dan klien. Peran terapis adalah mengajari skil-skil konkrit melalui pemberian instruksi, modeling, dan melalui feedback performance. Klien campur tangan dalam pengulangan behavioral dengan feedback sampai skil-skil telah dipelajari dengan baik dan umumnya menerima aktif tugas-tugas rumah (seperti pemantauan diri dari masalah behavioral). Klien harus dimotivasi untuk mengubah dan bekerja sama dalam aktivitas terapeutik, baik dalam sesi terapi maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Klien diberi semangat untuk bereksperimen terhadap tujuan untuk meningkatkan repertoir tingkah laku adaptif mereka. Mereka dibantu untuk menggeneralisasikan dan mentransfer pembelajaran yang didapat dalam situasi terapi menuju situasi di luar terapi. Verbalisasi dalam konseling digunakan ketika transfer perubahan dibuat dari sesi terapi menuju kehidupan sehari-hari dan ketika efek dari terapi diperluas di luar pengakhiran dimana treatmen dapat dianggap berhasil.
Klien memiliki frame of reference untuk menilai kemajuan mereka dalam menyelesaikan tujuan mereka. Ketika tujuan telah diselesaikan, maka klien dan terapis mengakhiri treatmen. Setelah terapi behavior yang sukses, klien mengamalkan pilihan-pilihan yang lebih baik dalam berperilaku.

Hubungan Antara Terapis dan Klien
Hubungan terapeutik yang baik dapat membantu proses perubahan behavioral dimana meningkatkan kesempatan klien agar mudah menerima terapi, bekerja sama dengan prosedur terapeutik, dan klien memiliki penerimaan positif serta harapan sukses mengenai efektivitas terapi. Kebanyakan praktisi behavioral mempertahankan faktor-faktor seperti kehangatan, empati, keautentikan, kepermisivan, dan penerimaan sangat dibutuhkan agar perubahan behavioral terjadi namun juga harus disertai dengan teknik-teknik behavioral sehingga tujuan dapat tercapai. Hubungan klien-terapis adalah fondasi dimana strategi terapeutik dibangun untuk membantu perubahan klien pada arah yang mereka harapkan.

Aplikasi teknik dan prosedur terapeutik
Penilaian tingkah laku, yang diawali dengan deskripsi tentang keluhan klien merupakan hal yang utama untuk terapi tingkah laku. Klien menyimpan catatan/memori tentang frekuensi dan intensitas kejadian, dan ini menjadi alat dalam membuat sebuah rencana pengobatan dan memutuskan apakah terapinya bekerja/berjalan. Ada beberapa instrumen penilaian yang praktis dan mudah digunakan, termasuk laporan isi laporan diri tak terhitung, skala rating tingkahlaku/kebiasaan, format penelitian diri, dan teknik penelitian sederhana untuk mengumpulkan informasi yang berguna untuk permasalahan klien. Metode penilaian tingkah laku dapat sepenuhnya digunakan untuk bekerja dengan klien dengan cakupan permasalahan yang berbeda.
Kekuatan dari pendekatan tingkah laku adalah pengembangan dari prosedur pengobatan spesifik yang harus ditunjukkan agar efektif dalam mencapai sasaran. Terapis tingkah laku memiliki hipotesis yang mereka jalankan dari menerapkan prosedur pengobatan, yang mana dapat diuji untuk kebenarannya. Hasil dari intervensi mereka menjadi jelas karena mereka memperoleh umpan balik secara berkesinambungan dari klien mereka.
Temuan utama yang dihasilkan oleh penelitian dalam terapi tingkah laku adalah hasil perawatan memiliki segi yang banyak (bermacam-macam). Tidak semua ada perubahan atau tidak ada sama sekali. Peningkatan mungkin terjadi di beberapa area tetapi tidak pada area lainnya. Semua peningkatan tidak terjadi pada waktu yang sama, dan diperoleh dibeberapa area yang mungkin berhubungan dengan area lain (Kazdin, 1982; Voltz & Evans, 1982).
Menurut Arnold Lazarus ( 1989, 1992b, 1997a, 2000b), seorang pelopor dalam terapi klinis perilaku, praktisi tingkah laku dapat disertakan dalam rencana perawatan mereka dengan semua teknik yang dapat ditunjukan demi keefektifan perubahan perilaku. Lazarus mendukung penggunaan teknik yang berbeda, dengan mengabaikan dasar teoritis mereka. Dalam pandangannya, semakin luas cakupan teknik terapi, semakin berpotensi efektif terapi tersebut. Jelas bahwa terapis perilaku tersebut harus tidak membatasi diri mereka untuk memperoleh metode dari teori belajar. Demikian juga, teknik tingkah laku dapat disatukan ke dalam pendekatan-pendekatan lain.
Prosedur pengobatan digunakan terapis perilaku secara rinci dan dirancang untuk klien tertentu. Terapis selalu kreatif dalam intervensi (campur tangan) mereka.

Penerapan analisis tingkah laku : teknik mempengaruhi keadaan
Bagian ini menguraikan beberapa prinsip utama dari mempengaruhi keadaan : penguatan positif, penguatan negatif, pemunahan, hukuman positif, dan hukuman negatif.
Dalam penerapan analisa perilaku, teknik pengaruh keadaan dan metode penilaian dan evaluasi diaplikasikan dalam sebuah cakupan luas permasalahan pada pengaturan yang berbeda (Kadzin, 2001).
Penguatan positif melibatkan penambahan sesuatu yang berharga pada individu seperti pujian, perhatian, uang atau makanan sebagai konsekuansi dari perilaku tertentu. Stimulus yang diikuti perilaku merupakan penguatan positif. Contohnya, seorang anak mendapat nilai sempurna dan dipuji orang tuanya. Bila dia menghargai pujian ini, ada kemungkinan dia akan memiliki keinginan untuk mengejar nilai yang baik dimasa mendatang. Jika tujuan dari suatu program adalah untuk mengurangi atau menghapuskan perilaku yang tidak diinginkan, penguatan positif sering digunakan untuk meningkatkan frekuensi dari perilaku yang lebih diinginkan, yang mengganti perilaku yang tidak diinginkan.
Penguatan negatif melibatkan jalan keluar atau penghindaran rangsangan. Individu yang termotivasi untuk memperlihatkan suatu perilaku yang diinginkan untuk menghindari kondisi yang tidak diinginkan. Contohnya, seorang teman ku tidak suka dibangunkan dengan suara alarm jam yang melengking. Dia telah melatih dirinya untuk bangun beberapa menit sebelum alarm berbunyi.
Metode mengubah perilaku yang lain adalah pemunahan, yang mengacu pada penahanan penguatan dari penguatan respon sebelumnya. Dalam penerapan pengaturan, pemunahan dapat digunakan untuk perilaku yang telah dirawat oleh penguatan pasitif atau penguatan negatif. Sebagai contoh, anak-anak yang memperlihatkan tingkah marah dibantu dengan memberikan perhatian dari orang tua mereka. Suatu pendekatan untuk mangimbangi permasalahan perilaku adalah mengeliminasi koneksi antara perilaku tertentu (kemarahan) dan penguatan positif (perhatian). Bila itu dilakukan akan dapat mengurangi atau menghilangkan efek tersebut, seperti kemarahan dan agresi. Pemunahan dapat mengurangi maupun menghapuskan perilaku tersebut, tetapi pemunahan tidak akan mengganti respon tersebut yang telah dimusnahkan. Karena alasan ini, pemunahan harus sering digunakan pada program pembenahan/perbaikan perilaku dengan beberapa strategi penguatan (Kazdin, 2001).
Cara lainnya perilaku dikontrol melalui hukuman, dimana konsekuensi pada beberapa perilaku tertentu mengakibatkan penurunan dari perilaku tersebut. Tujuan dari penguatan adalah untuk meningkatkan perilaku target, tetapi tujuan dari hukuman adalah untuk menurunkan perilaku target. Miltenberger (2004) menjelaskan 2 jenis hukuman yang mungkin terjadi sebagai konsekuensi dari perilaku : hukuman positif dan hukuman negatif. Dalam hukuman positif suatu stimulus ditambahkan pada perilaku untuk menurunkan frekuensi dari perilaku ( seperti tamparan di pantat seorang anak karena kelakuan buruk atau teguran pada seorang siswa karena nakal di kelas). Dalam hukuman negatif penguatan stimulus dihilangkan/dipindahkan mengikuti perilaku untuk mengurangi frekuensi perilaku target (seperti mengurangi gaji seorang pekerja karena jam kerja yang hilang, atau menghapus jam televisi dari anak-anak karena kelakuan buruk). Dalam jenis hukuman itu,perilaku akan lebih sedikit terjadi dimasa mendatang.
Skinner (1948) percaya hukuman memiliki nilai terbatas dalam mengubah perilaku dan selalu dengan cara yang tidak diinginkan untuk mengubah perilaku. Dia menentang penggunaan kendali atau hukuman, dan merekomendasikan penguatan positif sebagai pengganti. Prinsip kuncinya adalah menggunakan paling sedikit alat yang mungkin untuk merubah perilaku, dan penguatan positif merupakan yang terkuat sebagai pengganti. Skinner percaya pada nilai dalam menganalisis faktor lingkungan untuk kedua penyebab dan perbaikan untuk permasalahan perilaku dan menantang bahwa manfaat terbesar pada individu ke suatu masyarakat dengan penggunaan penguatan positif yang sistematis sebagai jalan menuju kendali perilaku (Nye, 2000).
Penulis lain juga telah menunjukkan efek samping dari hukuman dan menyimpulkan bahwa walaupun hukuman mungkin menghapuskan perilaku target tetapi penggunaan teknik ini terus menerus mengakibatkan efek samping yang tidak diinginkan dan sering susah untuk dikendalikan (Kazdin, 2001; miltenberger, 2004). Sebagian efek samping ini adalah reaksi emosional atas hukuman, mencari jalan keluar dan perilaku menghindar, penguatan negatif untuk penggunaan hukuman, modeling penggunaan hukuman, dan isu etis. Hukuman harus digunakan hanya setelah pendekatan yang telah diterapkan dan ditemukan untuk tidak efektif dalam mengubah masalah prilaku (Kazdin, 2001; miltenberger, 2004).
Ada suatu tempat untuk hukuman pada program perubahan perilaku, tapi hukuman harus digunakan hanya untuk melengkapi strategi penguatan yang mengarah pada pengembangan lain yang sesuai dengan perilaku (Kazdin, 2001).

Model Assesmen Fungsional
Miltenberger ( 2004) menguraikan bagaimana cara untuk berhadapan dengan masalah perilaku melalui langkah demi langkah assesmen fungsional dan program perawatan :
1. Langkah pertama yaitu melakukan suatu dugaan fungsional untuk mengumpulkan data tentang masa lalu dan konsekuensi yang secara fungsional dihubungkan dengan kejadian dari permasalahan perilaku.
2. Untuk melakukan suatu dugaan fungsional, menggunakan kedua metode tidak langsung (interview perilaku atau kuisioner untuk mengumpulkan informasi tentang permasalahan perilaku) dan metode pengamatan langsung.
3. Berdasarkan pada pengumpulan informasi dari dugaan fungsional, terapis mengembangkan hipotesis tentang sifat alami dari masalah perilaku dan kondisi-kondisi yang mendukung perilaku ini.
4. Ketika fungsi masalah perilaku yang berbeda dikenali, perawatan fungsional ditujukan untuk menunjukkan masa lalu dan hipotesis konsekuensi untuk memelihara masalah perilaku. Perawatan fungsional meliputi teknik-teknik di bawah ini :
• Penguatan diferensial dari perilaku yang diinginkan untuk mengganti masalah perilaku, yang mungkin meliputi prosedur penguatan positif dan negative.
• Pemunahan masalah perilaku dengan menahan penguatan ( dikenali pada proses dugaan fungsional ) yang ditemukan untuk perawatan masalah.
• Mendahulukan prosedur control yang mana pendahuluan dimanipulasi dalam percobaan untuk mencegah terjadinya permasalah perilaku dan mempromosikan perilaku alternatif untuk mengganti masalah perilaku.
5. Prosedur hukuman negatif mungkin digunakan untuk mengurangi masalah perilaku, tetapi hanya setelah pendekatan fungsional telah dicoba.
6. Setelah metode perawatan ini digunakan, sangat penting untuk mengembangkan strategi mempromosikan penyamarataan suatu pemeliharaan perilaku yang telah terjadi.

Pelatihan relaksasi dan metoda yang berhubungan
Pelatihan relaksasi telah mulai popular sebagai metode mengajar orang untuk mengatasi tekanan yang disebabkan kehidupan sehari-hari. Hal itu mengarah pada keberhasilan otot dan relaksasi mental dan mudah dipelajari. Setelah klien belajar dasar dari prosedur relaksasi, sangat penting bagi mereka untuk berlatih latihan ini setiap hari nuntuk memperoleh hasil maksimal.
Pelatihan relaksasi melibatkan beberapa komponen yang secara khas diperlukan 4 hingga 8 jam instruksi. Klien diberi satu set instruksi yang menanyakan mereka untuk rileks. Mereka mengasumsikan suatu posisi pasif dan rileks dalam lingkungan yang tenang. Bernafas dalam dan tenang juga menghasilkan relaksasi. Pada waktu yang sama klien belajar untuk bermental “lepas”, mungkin dengan memfokuskan pada gambaran atau pikiran yang menyenangkan. Klien didukung untuk benar-benar merasakan dan mengalami kenaikan itu, untuk mengetahui otot mereka mulai tegang dan mempelajari kenaikan ini, dan untuk menahan dan sepenuhnya mengalami kenaikan ini. Ini juga berguna untuk klien dalam mengalami perbedaan antara suatu tegangan dan suatu relaksasi. Relaksasi menjadi ditanggapi dengan baik, yang mana menjadi suatu kebiasaan bila dilatih setiap hari dalam 20 atau 25 menit.
Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi Sistematis yang didasarkan pada prinsip kondisi klasik, adalah dasar prosedur tingkah laku yang dikembangkan oleh Joseph Wolpe, seorang pelopor terapi perilaku. Bayangan klien lebih menimbulkan ketertarikan pada waktu yang sama bahwa mereka terlibat dalam suatu perilaku yang bersaing dengan kecemasan. Prosedur ini bisa dipertimbangkan sebagai format terapi pembukaan karena klien diminta untuk membuka diri mereka agar tertarik untuk membayangkan sesuatu sebagai jalan untuk menurunkan kecemasan
Sebelum menerapkan prosedur desensitisasi, terapis memeriksa interview awal untuk mengidentifikasi informasi spesifik untuk mengumpulkan informasi latar belakang yang relevan tentang klien. Interview ini, yang mungkin menjadi bagian terakhir, memberi terapis pengertian yang baik tentang siapakah klien. Terapis mempertanyakan pada klien tentang keadaan tertentu yang menimbulkan kondisi ketakutan.
Cormier dan Nurius (2003), mendeskripsikan beberapa langkah dalam menggunakan system desensitization:
1.Relaxation training
2.Development of the anxiety hierarchy
3.Sistem desentization yang benar
1.Relaxation training
Terapis bersikap sangat tenang, lembut dan berbicara dengan nyaman untuk meningkatkan relaksasi otot.Klien diminta untuk membayangkan lebih dahulu situasi-situasi yang menyenangkan,.Hal ini penting agar klien mendapatkan ketenangan dan kedamaian.Klien kemudian dibimbing bagaimana cara merelaksasi seluruh otot sambil memvisulisasikakan macam-macam bagian tubuh dengan tekanan pada otot wajah.Otot lengan direlaksasi terlebih dahulu, dilanjutkan otot kepala, leher dan bahu, punggung, perut dan ronga dada dan kemudian kaki.Klien diminta untuk berlatih relaksas diluar sesi selama 30 menit setiap hari.
2.Menyusun Tingkatan Kecemasan
Terapis bersama dengan klien menyusun suatu tingkatan kecemasan kedalam wilayah-wilayah tertentu, seperti penolakan, cemburu, ketidak setujuan, kritikan atau suatu phobia yang teranalisa.Terapis membuat sebuah daftar bertingkat mengenai situasi-situasi yang dapat menyebabkan peningkatan kecemasan atau penghindaran.Tingkatan disusun kedalam situasi yang paling buruk yang dapat dibayangkan oleh klien ke situasi yang dapat menimbulkan kecemasan yang tarafnya paling rendah.Jika klien telah ditentukan memiliki kecemasan yang berhubungan dengan penolakan.Misalnya, situasi yang dapat menimbulkan kecemasan tertinggi boleh jadi penolakan oleh pasangannya kemudian penolakan oleh teman dekat dan kemudian oleh teman kerja.Situasi yang tingkat mengganggunya paling rendah boleh jadi penolakan oleh orang yang tak dikenal klien dalam sebuah pesta.
3.Sistem Desensitisasi
Desensitization dimulai setelah beberapa sesi interview lengkap.Proses desensitisation dengan keadaan klien yang rileks dengan mata tertutup. Terapis menciptakan keadaan yang netral sementara klien diminta untuk membayangkan dirinya berada didalamnya.Jika klien mampu untuk tetap santai, mintalah dirinya untuk membayangkan dirinya berada dalm keadaan yang dapat menimbulkan kecemasan yang tingkatnya paling rendah.Terapis terus mengungkapkan secara bertingkat keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan kecemasan sampai klien menunjukkan bahwa dia mengalami kecemasan, dan pada saat itulah pengungkapan situasi oleh terapis diakhiri.Kemudan relaksasi dilakukan lagi dan terapis kembali mengungkapkan keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan kecemasan.Treatmen diakhiri saat klien mampu untuk tetap dalam kondisi relaks saat membayangkan kondisi yang sebelumnya paling mengganggu dan menimbulkan kecemasan.
Inti dari system desensitisasi adalah mengulang proses membayangkan situasi-situasi yang dapat menimbulkan kecemasan tanpa mengalami konsekuensi negatif.

TERAPI EXPOSURE
Terapi exposure di desain untuk menangani ketakutan dan respon emosi negative lainnya dengan mengenalkan klien pada kondisi-kondisi yang dapat nenimbulkan kecemasan, di bawah kondisi yang terkontrol oleh terapis.
In Vivo Desensitization
Melibatkan klien untuk mengekspos situasi nyata yang menakutkan dalam kehidupan sehari-harinya.Klien dapat menghentikan exposure-nya jika dirinya mengalami kecemasan tingkat tinggi.
Flooding (Pembanjiran)
Bentuk lain terapi ekspose adalah flooding (pembanjiran), yang mengacu pada in vivo atau imaginal ekspose untuk menimbulkan stimulus pembangkit kecemasan untuk suatu periode yang diperpanjang.Karakteristik dari semua terapi ekspose adalah walaupun klien mengalami kecemasan sepanjang pengeksposan, konsekuensi negative tidak terjadi.
In vivo flooding terdiri dari menguatkan dan memperpanjang ekspose yang menghasilkan stimuli untuk merangsang kecemasan yang nyata Secara umum,rasa takut yang tinggi pada klien mempertahankan kecemasan mereka melalui penggunaan perilaku maladaptive.di dalam flooding, klien dicegah dari penggunaan respon maladapitf saat berada dalam situasi yang membangkitkan kecemasan.
Imaginal flooding didasarkan pada prinsip-prisip yang sama dan mengikuti prosedur yang sama kecuali terjadi ekspose pada imajinasi klien di kehiduapan sehari-harinyaKeuntungan menggunakan imaginal flooding pada in vivo flooding adalah bahwa tidak ada pembatasan sifat alami situasi-situasi yang membangkitkan kecemasan yang dapat diperlakukan.

EYE MOVEMENT DESENSITIZATION and REPROCESSING (EMDR)
EMDR adalah salah satu bentuk terapi exposure yang melibatkan imajinasi pembajiran (imaginal flooding), pembentukan ulang pola pikir dan menggunakan kecepatan, irama pergerakan mata dan rangsangan dari dua belah pihak untuk menangani klien yang mengalami traumatic stress. EMDR dikembangkan oleh Francine Shapiro (2001), Prosedur terapi ini mengambil cakupan luas dari intervensi behavioral.Di desain untuk membantu klien yang menghadapi gangguan stress pascatrauma.
EMDR terdiri atas delapan tahap inti yang banyak diambil dari prosedur yang digunakan dalam terapi behavior:
1. EMDR digunakan untuk menolong klien membentuk kembali pola pikir mereka atau untuk memproses ulang informasi yang mereka miliki.Seperti halnya pada terapi behavior, tahap awal pada perawatan ini membutuhkan pemahaman akan masalah klien, mengidentifikasi dan mengevaluasi tujuan perawatan secara spesifik.
2. Tahap persiapan melibatkan sebuah terapi kelompok.Terapis menjelaskan proses dan pengaruh EMDR, mendiskusikan tujuan dan harapan yang mungkin dimiliki klien, tahap ini dimulai dengan melakukan relaksasi dan nenciptakan suasana yang nyaman saat klien dpat mempertahankan imajinasi emosinya.
3. Tahap assessment (pengukuran) meliputi, identifikasi memori traumatis yang menimbulkan kecemasan, identifikasi sensasi emosional dan fisik yang dihubungkan dangan peristiwa traumatis, evaluasi terhadap skala Subjective Unit of Disturbance (SUD), identifikasi terhadap kognisi negative yang dihubungkan dengan peristiwa yang mengganggu, dan menemukan suatu kepercayaan adaptif yang akan mengurangi tingkat kecemasan.
4. Di dalam tahap desentisasi, klien diminta untuk memvisualisasikan gambaran traumatiknya, menuturkan kepercayaan maladaptifnya, dan memperhatikan sensasi fisiknya.Proses pengeksposan terbatas, klien diminta untuk mengekspose keadaan yang paling mengganggu selama kurang dari semenit tiap sesinya..Klien diminta untuk (1)membuang pengalaman negatifnya.(2)melaporkan apa yang dibayangkannya, dirasakan dan dipikirkannya.
5. Tahap Instalasi terdiri dari penerapan dan peningkatan kekuatan pola pikir (kognisi) positif klien yang telah teridentifikasi sebagai pengganti pola pikir negatif.Kenyataan untuk mengasosiasikan peristiwa traumatic dengan kepercayaan yang adaptif sehingga memori tidak lagi mampu menimbulkan kecemasan dan pikiran negatif.Fokus yang menjadi kekuatan pada klien adalah memiliki positive self assessment (penilaian diri yang positif), yang menjadi hal sangat penting untuk mencapai peningkatan terapi.
6. Setelah pola pikir positif ditanamkan, klien diminta untuk memvisualisasikan peristiwa traumatic dan pola pikir positifnya kemudian terapis memeriksa badannya dari atas sampai bawah dan mengidentifikasi tegangan seluruh tubuhnya.Pemeriksaan selesai ketika klien mampu memvisualisasikan peristiwa tersebut, dan pada saat yang sama, sebagian kecil tubuh mengalami ketegangan dan tetap mampu berpikir positif.
7. Penting untuk menutup tiap-tiap sesi dengan baik.Terapis hendaknya mengingatkan klien bahwa dirinya mungkin akan mengalami gangguan imajinasi, emosi, dan pemikiran antara tiap-tiap sesi.Klien diminta untuk mencatat dalam buku harian atau jurnal dan merekam hal-hal yang mengganggunya..Beberapa intervensi dari klien diharapkan untuk melakukan beberapa kegiatan selama proses perawatan seperti relaksasi, menciptakan imajinasi, meditasi, self monitoring, dan latihan pernafasan.
8. Mengevaluasi kembali perawatan yang sudah dijalani, hendaknya diterapkan pada awal masing-masing sesi baru.Tahap EMDR yang terakhir meliputi beberapa proses behavioural, yaitu: reconceptualisasi permasalahan klien, penetapan tujuan baru proses terapi, melaksanakan desensitisasi lebih lanjut , melanjutkan tugas merestukturisasi aspek kognitif, melanjutkan proses self monitoring , dan secara kolaboratif mengevaluasi hasil perawatan.

ASSERTION TRAINING
Banyak orang yang merasa kesulitan untuk membuat keputusan yang tegas bagi diri mereka sendiri. Orang dengan keterampilan sosial yang kurang seringkali mengalami kesulitan interpersonal di rumah, di tempat kerja, di sekolah, dan selama waktu luang. Assertion training sangat berguna bagi:
1. orang yang tidak dapat menunjukkan kemarahan atau kejengkelan
2. orang yang kesulitan berkata ’tidak’
3. orang yang terlalu sopan dan membiarkan orang lain mengambil keuntungan dari dirinya
4. orang yang kesulitan mengekspresikan afeksi dan respon-respon positif lainnya
5. orang yang merasa bahwa mereka tidak punya hakuntuk menyatakan pemikiran, keyakinan, dan perasaannya
6. orang yang menderita phobia sosial
Asumsi dasar yang mendasari assertion training adalah bahwa seseorang mempunyai hak (bukan kewajiban) untuk mengekspresikan dirinya. Salah satu tujuan assertion training adalah untuk meningkatkan kemampuan berperilaku individu sehingga mereka dapat membuat pilihan reaksi apa yang akan ditunjukkan dalam situasi tertentu. Tujuan lainnya adalah mengajarkan seseorang untuk mengekspresikan dirinya dengan cara-cara yang merefleksikan sensitivitasnya terhadap perasaan dan hak-hak orang lain. Asersi bukan berarti agresi. Jadi, seseorang yang benar-benar asertif tidak akan egois hanya mempertahankan haknya saja dan mengabaikan perasaan orang lain.
Beberapa metode assertion training didasarkan pada prinsip-prinsip terapi kognitif behavioral. Umumnya, terapis mengajarkan dan memberi contoh perilaku yang diharapkan muncul pada klien. Perilaku-perilaku tersebut diajarkan dalam ruang terapi dan kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Assertion training biasa dilaksanakan berkelompok. Jika format kelompok digunakan, modeling dan instruksi-instruksi diberikan pada semua anggota kelompok. Para anggota kemudian berlatih kemampuan berperilaku secara bergantian (role-play). Setelah latihan tersebut, para anggota diberi feedback (umpan balik) yang berisi penguatan atas aspek-aspek perilaku yang benar dan instruksi-instruksi tentang bagaimana memperbaiki perilaku tersebut. Masing-masing anggota ikut serta dalam latihan berperilaku asertif yang lebih jauh sampai kemampuannya ditunjukkan secara adekuat dalam berbagai situasi simulasi (latihan) (Miltenberger,2004).

SELF MANAGEMENT PROGRAMS & SELF-DIRECTED BEHAVIOR
Dalam program self management individu membuat keputusan mengenai perilaku spesifik yang ingin mereka kontrol/rubah. Beberapa contoh umum adalah mengendalikan perilaku merokok, mabuk atau memakai obat terlarang, belajar pembelajaran dan kemampuan mengatur waktu, serta menghadapi obesitas dan terlalu banyak makan. Seseorang kadang menemukan bahwa alasan utama mereka tidak dapat mencapai tujuan adalah kekurangan kemampuan-kemampuan tertentu atau pengharapan yang tidak realistis. Dalam area-area tertentu pendekatan self directed dapat menyediakan panduan untuk perubahan dan sebuah rencana yang akan mengarahkan pada perubahan.
Lima karakteristik dari program self management yang efektif dikemukakan oleh Cormier dan Nurius :
1. Kombinasi dari berbagai strategi self management biasanya lebih berguna daripada hanya satu strategi tunggal
2. Usaha self management harus dilakukan terus-menerus dalam suatu periode atau efektivitasnya untuk memunculkan perubahan yang signifikan terbatasi
3. Klien perlu untuk membuat self evaluation dan menentukan tujuan-tujuan yang sanga bermakna pribadi bagi mereka
4. Pemakaian self reinforcement adalah sebuah komponen penting dari program self management
5. Kadang dukungan dari lingkungan dibutuhkan untuk mempertahankan perubahan-perubahan yang dihasilkan dari program self management
Meskipun harapan bisa menjadi faktor terapeutik yang menyebabkan perubahan, harapan yang tidak realistis dapat membuka jalan bagi suatu pola kegagalan dalam sebuah program self change. Jika ingin sukses dalam program seperti ini, dibutuhkan sebuah analisis yang hati-hati dan tahap-tahap dasar dari program self management yang disediakan oleh Watson dan Tharp (2002) ini harus diikuti:
1. Memilih tujuan
Tahap pertama dimulai dengan menetapkan perubahan apa yang diinginkan. Tujuan-tujuan harus ditetapkan sat itu juga dan tujuan itu harus dapat diukur, dapat dicapai, positif, dan penting bagi orang tersebut. Harapan sebaiknya realistis.
2. Mewujudkan tujuan-tujuan ke dalam perilaku target
Berikutnya, tujuan-tujuan yang telah dipilih diwujudkan dalam perilaku-perilaku target. Pertanyaan kuncinya adalah,”Perilaku spesifik apa yang ingin aku tingkatkan atau kurangi?”
3. Self monitoring
Satu tahap pertama yang penting dalam self directed change adalah proses self monitoring, di mana klien dengan sengaja dan sistematis mengobservasi perilaku mereka sendiri. Salah satu metode paling sederhana untuk mengobservasi perilaku adalah dengan membuat catatan harian behavioral. Kejadian dari perilaku-perilaku khusus dicatat oleh klien, bersama dengan komentar-komentar mengenai isyarat-isyarat anteseden yang relevan dan konsekuensi-konsekuensi.
4. Menyusun sebuah rencana perubahan
Tahap ini dimulai dengan membandingkan antara informasi yang dihasilkan dari self monitoring dan standar klien untuk perilaku spesifik. Setelah klien membuat evaluasi atas perubahan behavioral yang ingin mereka dapatkan, mereka melaksanakan sebuah perubahan aktual yang termasuk metode seperti punishment, stimulus control, behavioral contracts dan dukungan sosial. Beberapa tipe sistem self reinforcement diperlukan dalam rencana ini karena reinforcement adalah inti dari terapi behavior modern. Self reinforcement adalah strategi sementara yang digunakan klien sampai mereka sukses mengimplementasikan perilaku baru mereka dalam kehidupan sehari-hari. Sangatlah penting klien mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan bahwa mereka mempertahankan perubahan yang telah mereka capai.
5. Evaluasi sebuah rencana aksi
Untuk menentukan sejauh mana klien mencapai tujuan mereka, sangat perlu untuk mengevaluasi rencana perubahan tersebut. Rencana tersebut terus menerus diperbaiki dan direvisi sambil klien mencari cara lain untuk mencapai tujuannya. Evaluasi adalah sebuah proses terus-menerus dan bukan hanya kejadian sesaat dan self change adalah sebuah latihan seumur hidup.
Kesuksesan usaha self change dimulai dengan menentukan suatu tujuan realistis dan menyediakan sebuah rencana konkrit untuk mencapai perubahan perilaku. Strategi self management sudah diterapkan pada beberapa populasi dan masalah seperti kecemasan, depresi, dan rasa sakit. Penelitian atas self management telah dilaksanakan dalam berbagai macam masalah kesehatan antara lain arthritis, asma, kanker, penyakit jantung, penyalahgunaan zat, diabetes, sakit kepala, gangguan penglihatan, nutrisi dan perawatan kesehatan diri. (Cormier & Nurius,2003).

TERAPI MULTIMODAL: TERAPI CLINICAL BEHAVIOR
Terapi multimodal adalah sebuah sebuah pendekatan yang komprehensif, sistematis, dan holistik dalam terapi behavior yang dikembangkan oleh Arnold Lazarus. Pendekatan ini berkembang dalam teori belajar sosial dan teori kognitif dan menggunakan teknik-teknik behavioral dalam mengatasi berbagai macam permasalahan. Model ini menyatakan bahwa kita adalah makhluk sosial yang bergerak, merasa, mengerti, membayangkan, dan berpikir.
Terapi multimodal adalah sebuah sistem terbuka yang mendukung technical eclecticism. Teknik baru yang secara konstan diperkenalkan dan memperbaiki teknik-teknik yang sudah ada, namun tidak pernah digunakan dalam tatacara yang dipaksakan.

TECHNICAL ECLECTICISM
Terapis multimodal meminjam teknik-teknik dari beberapa sistem terapi lain. Beberapa teknik yang mereka gunakan di dalam terapi individual antara lain: training manajemen kecemasan (Anxiety-Management Training), behavior rehearsal, bibliotherapy, biofeedback, communication training, contingency contracting, mediation, positive imagery, positive reinforcement, relaxation training, self instruction training, sensate focus training, time projection, dan thought stopping. Sebagian besar taknik-teknik tersebut adalah metode-metode behavioral standar yang diambil dari 4 cabang utama pendekatan behavioral.
Para terapis mengakui bahwa beberapa klien yang datang mengikuti terapi perlu mempelajari keterampilan-keterampilan dan terapis harus mau mengajarkan, melatih, mendidik, memberi contoh, dan mengarahkan kliennya. Mereka secara ksusus berfungsi sebagai penyedia informasi, instruksi, dan reaksi. Mereka menantang keyakinan-keyakinan self defeating, menawarkan feedback yang konstruktif, memberikan reinforcement positif dan self disclosing yang tepat. Sangatlah perlu terapis memulai dari mana klien berada dan kemudian bergerak ke dalam area-area produktif lain untuk dieksplorasi. Kegagalan untuk memahami situasi klien dapat dengan mudah menyebabkan klien merasa terasing dan salah paham (Lazarus,2000b).

THE BASIC I.D.
Esensi dari pendekatan multimodal Lazarus adalah premis yang menyatakan bahwa kepribadian kompleks manusia dapat dibagi dalam 7 area fungsi utama, yaitu: B = Behavior, A = Affective responses, S = Sensations, I = Images, C = Cognitions, I = Interpersonal relationship, dan D = Drugs, biological functions, nutrition dan exercise (Lazarus). Meskipun modalitas-modalitas tersebut saling berpengaruh, mereka dapat dipertimbangkan sebagai fungsi-fungsi tersendiri.
Terapi multimodal dimulai dengan sebuah asesmen komprehensif atas ketujuh modalitas fungsi manusia dan interaksi antar modalitas-modalitas tersebut. Sebuah asesmen yang komplit dan program treatment harus memberikan keterangan masing-masing modalitas dari BASIC ID tersebut, di mana peta kognitif saling berhubungan dengan masing-masing aspek kepribadian.
Pendekatan Multimodal ini didasarkan pada tipe-tipe pertanyaan yang diajukan Lazarus :
1. Behavior. Model ini mengarah pada perilaku berterus terang, termasuk di dalamnya tindakan, kebiasaan, reaksi yang dapat diamati dan dapat diukur. Contoh : “apa yang ingin kau ubah?” “seberapa aktif dirimu?”
2. Afeksi. Model ini mengarah pada emosi, suasana hati, perasaan yang kuat. Contoh : “apa yang dapat membuatmu tertawa, sedih, menangis, senang, takut?”
3. Sensasi. Model ini mengarah pada panca indera.
Contoh : “sensasi seperti apa yang paling kau sukai atau tidak kau sukai dari melihat, memcium, mendengarkan, menyentuh, dan merasa?”
4. Imajinasi. Model ini mengarah pada cara dimana kita menggambarkan diri sendiri, dan di dalamnya terdapat kenangan, mimpi, dan fantasi.
Contoh : “bagaimana kamu melihat tubuhmu?” “bagaiman kamu melihat dirimu sendiri?”
5. Kognitif. Model ini mengarah pada kemampuan untuk mengerti, filosofi, ide, opini, dan judgement, juga sikap, dan kepercayaan.
Contoh : “bagaiman pemikiran-pemikiranmu dapat berdampak pada emosimu?” “apakah hal-hal negatif yang kau katakan pada dirimu?”
6. Hubungan Interpersonal. Model ini berhubungan pada interaksi dengan orang lain.
Contoh : “apa yang kau harapkan dari orang-orang dalam hidupmu?” “adakah beberapa hubungan dengan beberapa orang yang ingin kau ubah?”
7. Obat-obatn/Biologis. Tidak hanya meliputi obat-obatan, tetapi juga kebiasaan-kebiasaan klien yang berhubungan dengan nutrisi dan olahraga mereka.
Contoh : “apakah anda memperhatikan kesehatan anda?” “apakah kebiasaan-kebiasaanmu

Terapi Ringkas dan Menyeluruh
Terapi komprehensif dan menyeluruh ini termasuk di dalamnya mengoreksi ketidakpercayaan, perilaku devian, perasaan tidak suka, dan kemungkinan biokemikal yang tidak seimbang. Terapis multimodal percaya bahwa klien belajar banyak dalam terapi sedangkan kemungkinana terkecilnya adalah masalah-masalah lama yang akan terjadi lagi.
Franks menyatakan : “Terapi ringkas multimodal adalah terapi behavior dalam salah satu bentuk paling popular. Efisien, efektif, teachable, dan menyeluruh tanpa menjadi kaku.
Terapis mengidentifikasi satu isu specific dari masing-masing aspek dari BASIC I.D. Kerangka kerja sebagai sebuah target untuk mengubah dan mengajari klien sebuah susunan teknik yang dapat mereka gunakan untuk melawan pikiran yang bersalah, untuk belajar bersikap santai dalam situasi stres, dan untuk mendapat kemampuan interpersonal efektif.

Terapis Peran Multimodal
Terapis multimodal menjaga untuk menjadi sangat aktif selama sesi terapi, memfungsikan sebagai trainer, pengajar, konsultan, dan contoh peran. Mereka memberikan informasi, instruksi, dan timbale balik seperti contoh perilaku asertif, menantang penolakan kepercayaan, menawarkan saran, menawarkan reinforcement positif, dan menjadi lebih membuka diri.
Terapi panggilan efektif bagi konselor untuk menjadi “bunglon otentik”(Lazarus, 1993), yang berarti bahwa sesuatu dimainkan secara fleksibel dalam gaya berhubungan adalah sama pentingnya dengan teknik meningkatkan hasil perawatan. Terapis butuh untuk membuat beberapa pilihan rasa menyesal dengan berbagai gaya berbeda dalam berhubungan dengan klien. Mereka akan memutuskan kapan dan bagaimana secara langsung terlibat atau hanya sekadar mendukung, dingin atau hangat, formal atau informal, dan kuat atau lembut. Yang terpenting adalah kemampuan terapis untuk menggabungkan gaya berhubungan yang paling sesuai.

Penggabungan Teknik Behavioral dengan Pendekatan Psikoanalitik Kontemporer
Aspek-aspek terapi behavior dapat dikombinasikan dengan sejumlah pendekatan-pendekatan terapeutik.
• Dalam fase pertama, konselor harus mampu untuk mendengar cerita dari klien, untuk mengerti dunia fenomenologi mereka, dan untuk membangun rapor dengan mereka. Pada fase ini konselor harus menggali perasaan menyesal klien dari masa lalu dan keadaan sekarang dan contoh pemikiran yang mempengaruhi interpretasi klien terhadap dunia.
• Dalam fase kedua, insight ini jarang memungkinkan klien untuk mengakui dan mengekspresikan kenangan-kenangan buruk, perasaan-perasaan, dan pikiran-pikiran. Karena klien mampu untuk memproses yang direpresi sebelumnya dan memori disosiasi dan perasaan dalam konseling, perubahan-perubahan kognitif dalam persepsi diri dan yang jarang terjadi. Karena klien sedang mengusahakan secara kognitif proses penstrukturan ulang situasi hidup, mereka mandapatkan sesuatu yang baru dan beradaptasi dengan cara berpikir, berperasaan, dan meniru.
• Dalam fase ketiga dan perawatan fase akhir, dimana merupakan fase tindakan. Saat bagi klien untuk berusaha memperbarui perilaku berdasarkan pada kemampuan insight, pengertian, dan penstrukturan ulang kognitif yang dipeoleh pada fase konseling teradahulu. Pengakhiran konseling adalah sebuah keputusan yang berdasarkan pada perubahan kualitatif dalam hubungan klien dan gaya hidup.
Berdasarkan Morgan dan MacMillan (1999), terdapat peningkatan dalam literature bahwa teknik kognitif behavioral perlu diperhatikan, perubahan-perubahan kognitif klien. Mengadaptasi dari konsep dasar pemikiran psikoanalisis untuk menghubungkan terapi secara ringkas membuat pendekatan-pendekatan ini berguna dalam terapi waktu-terbatas.

TERAPI BEHAVIOR DARI SEBUAH PERSPEKTIF MULTIKULTURAL
Kontribusi untuk Konseling Multikultural
Terapi behavior memiliki beberapa keuntungan dibandingkan teori-teori lain yang bekerja dalam populasi multikultural. Karena kebudayaan dan latar belakang etnik mereka, beberapa klien memegang nilai-nilai yang berlawanan terhadap pengekspresian perasaan dan saling berbagi antarindividu. Konseling behavioral tidak menitikberatkan pada pengalaman katarsis. Yakni mengubah perilaku spesifik dan mengembangkan kemampuan menyelesaikan-masalah. Klien yang merencanakan tindakan dan perubahan behavioral memungkinkan untuk bekerja sama dengan pendekatan ini karena mereka dapat melihat bahwa hal itu menawarkan pada mereka metode-metode kongkrit untuk berdamai dengan permasalahan-permasalahan hidup mereka.
Tanaka Matsumi dkk (2002) menyatakan bahwa terapi behavior berdasarkan pada sebuah analisis eksperimental behavior dalam lingkungan social klien. Pendekatan behavioral telah bergerak melebihi perlakuan terhadap masalah behavioral klien. Hal ini memberikan penekanan pada suatu assessment yang cermat untuk memastikan bahwa tidak hanya kondisi tertentu yang bias menimbulkan masalah pada klien, tetapi juga klien mau menerima perubahan pada tingkah lakunya dan apakah perubahan tesebut memberikan peranan yang penting dalam kehidupan klien.
Dalam membuat suatu assessment yang tepat terapis behavioral memasukkan konteks kebudayaan. Dimana tingkah laku klien juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan social budaya klien. Sumber-sumber atau pengaruh yang kuat yang didapat dari lingkungan disekeliling klien dapat membawa perubahan terhadap klien.

KETERBATASAN DALAM KONSELING MULTIKULTURAL
Menurut Spiegler & Guevremont (2003), tantangan kedepan untuk terapis behavioral adalah untuk mengembangkan secara empiris didasarkan rekomendasi tentang bagaimana terapi behavioral dapat secara optimal melayani bermacam-macam klien dengan budaya yang berbeda-beda. Meskipun terapi behavioral sensitive terhadap perbedaan antara klien delam pengertian yang luas terapis behavioral memerlukan untuk menjadi lebih responsive terhadap isu-isu khusus yang menyinggung semua bentuk perbedaan. Karena ras, gender etnik dan orientasi seksual adalah factor yang kritis yang mempengaruhi proses dan hasil dari terapi. Ketika klien membuat perubahan secara personal yang signifikan sangat mungkin bahwa orang-orang disekeliling klien akan bereaksi secara berbeda terhadap perubahan tingkah laku klien. Oleh karena itu, sebelum memutuskan terlalu cepat dalam pencapaian tujuan terapi konselor dank lien memerlukan diskusi tentang keuntungan dan kerugian dari perubahan yang akan dialami oleh klien.

RANGKUMAN DAN EVALUASI.
Terapi behavioral mempunyai karaktiristik khusus dalam berbagai hal. Tidak hanya pada konsep dasar tetapi juga pada teknik-tekniknya yang dapat diaplikasikan langsung dalam menanggulangi masalah-masalah khusus. Pergerakan behavioral memasukkan 4 mayor area dalam perkembangannya : Operant Conditioning, Classical Conditioning, Teori Belajar Sosial dan meningkatkan perhatian kepada faktor-faktor kognitif yang mempengaruhi tingkah laku.

Kontribusi Terapi Tingkah Laku
Keuntungan seorang terapis tingkah laku yaitu memiliki spesifikasi teknik tingkah laku yang mereka berikan.Terapis menggunakan berbagai strategi tingkah laku untuk membantu klien menyatukan rencana dalam tindakannya untuk mengubah tingkah laku. Dasar terapi tingkah laku yaitu terpusat pada klien, terapis harus aktif mendengarkan, empati, respek, memberikan positif reinforcement dan memiliki kesiapan dalam memberikan kerangka tingkah laku. Terapi tingkah laku ini digunakan dalam dunia kesehatan, ilmu kesehatan anak, program rehabilitasi, dan manajemen stress. Pendekatan ini memiliki kontribusi untuk psikologi mental khususnya membantu klien mempertahankan hidup yang sehat.
Kontribusi terapi tingkah laku juga menitikberatkan pada penelitian dan pengukuran hasil treatment. Seandainya hasil tidak diperoleh, maka terapis mengkaji ulang hasil analisis dan treatment yang direncanakan. Terapis tingkah laku menggunakan teknik pengalaman yang dirasakan oleh klien, dimana klien akan menerima treatment yang efektif dan relatif singkat. Kekuatan dalam pendekatan terapi tingkah laku adalah menitikberatkan pada tanggungjawab dan tingkah laku apa yang seharusnya dirubah. Klien memiliki kebebasan untuk memutuskan terapi apa yang akan digunakan.
Keterbatasan dan Kritikan dalam Terapi Tingkah Laku
1. Terapi tingkah laku mungkin dapat mengubah tingkah laku, tetapi tidak mengubah perasaan. Beberapa kritik menyatakan bahwa perasaan harus dirubah dahulu sebelum tingkah laku dirubah. Ahli tingkah laku berkeyakinan bahwa bukti empiris tidak menunjukkan bahwa perasaan harus dirubah terlebih dahulu dan ahli klinis menyatakan bahwa perasaan sebagai sebuah bagian dari proses treatment yang diterapkan.
2. Terapi tingkah laku mengabaikan faktor hubungan yang penting dalam terapi. Perubahan terjadi apabila dalam hubungan klien dan terapis terabaikan dalam proses terapi tingkah laku. Walaupun terapis tidak menempatkan bobot dalam variabel hubungan, tetapi mereka mengetahui bahwa hubungan pekerjaan yang baik dengan klien merupakan pondasi/dasar yang diperlukan untuk keefektifan teknik yang digunakan. Lazarus menyatakan “ hubungan adalah tanah yang memungkinkan teknik untuk berakar”
3. Terapi tingkah laku tidak menyediakan pemahaman yang mendalam. Seandainya pernyataan itu benar terapis tingkah laku seharusnya merespon bahwa pemahaman yang mendalan tidak diperlukan. Mereka tidak fokus pada insight sebab tidak ada fakta yang jelas bahwa insight adalah hasil kritikan. Perilaku dapat berubah secara langsung.
4. Terapi tingkah laku menangani gejala-gejala daripada sebab-sebabnya. Asumsi psikoanalisis bahwa peristiwa traumatik merupakan akar permasalahan. Terapis tingkah laku mengetahui bahwa respon tingkah laku yang menyimpang memiliki sejarah dan sejarah hidup seseorang penting dalam menyelesaikan masalah. Akan tetapi terapis tingkah laku mengutamakan perubahan keadaan lingkungan untuk mengubah tingkah laku. Mereka tidak menerima bahwa gejala-gejala merupakan manifestasi dalam konflik intrapsikis.
5. Terapi tingkah laku melibatkan kontrol dan manipulasi oleh terapis. Semua terapis memiliki hubungan yang kuat dan kontrol dengan klien. Kadzin (2001) percaya tidak ada persoalan kontrol dan manipulasi yang dihubungkan dengan strategi tingkah laku yang tidak juga dilakukan oleh pendekatan terapi yang lain.