Dapat titipan cerpen dari teman. Belum kubaca juga sih....hehe
BUNGKUS ROKOKMU
Oleh: Jayaning S A
Oke, oke. Aku tahu aku salah kalau tak mengatakan ini padamu. Tapi mau bagaimana, kita tidak kenal baik. Nanti malah menyulut pertengkaran. Jadi kurasa lebih baik diam.
Tapi jengkel juga tak bisa mengatakannya. Betul-betul mengganggu. Dengan pemikiran kalau tidak mengungkapkannya itu salah, dan emosi tinggi karena kau tak sadar kalau itu salah, membuat kepalaku makin sakit.
Tidak enak sekali menahan diri begini. Ah rasanya aku tahu cara meluapkan emosi dengan aman. Kuambil polpen dari dalam tas dan kugenggam erat. Ya, polpen ini kuanggap sebagai ganti dirimu. Kugumamkan semua yang ingin kukatakan sembari mencengkeram kuat-kuat, seolah-olah sedang kulakukan ini padamu.
Kau harusnya tidak membuang bungkus rokokmu dengan melemparkannya begitu saja lewat jendela bus. Apalagi bus sedang melaju kencang. Coba kau pikir, bagaimana kalau saat itu di luar sedang banyak kendaraan lalu lalang dengan kecepatan tinggi dan bungkus rokokmu memecah konsentrasi salah satu pengemudi sepeda motor? Motornya akan oleng. Dan bagaimana kalau motor-motor di sampingnya juga sedang melaju kencang? Kalau sampai terjadi kecelakaan, kaulah yang jadi penyebab sebenarnya. Meski tidak secara langsung.
Tapi kau kan laki-laki. Kau pasti tak suka kalau ada yang mengkritik perilakumu. Sebab menurutmu, kritikan itu melukai harga diri dan kebanggaanmu sebagai laki-laki. Aduh, apalagi berseragam SMA. Orang-orang seumurmu paling tidak suka nasehat apalagi kritik. Komplainku pasti kau anggap sebagai permusuhan. Dan kau pasti melawan, bagaimanapun caranya.
Atau kau sudah memilih kondisi dimana tak ada kendaraan lain di sekitar bus kita saat melempar bungkus rokokmu, tapi kemudian ia terlempar ke pinggir jalan, tertutup debu, dan sedikit demi sedikit tertimbun tanah. Jika ada satu orang sepertimu setiap harinya, maka keturunan kita harus membersihkan dulu tanah-tanah yang memadat sebelum mulai menanam. Dan ketika tanh-tanah yang dibersihkan, satu diantara sekian banyak yang disingkarkan adalah bungkus rokokmu. Artinya, kau ikut bertangggungjawab atas ketidaksuburan tanah itu, juga biaya besar yang harus dikeluarkan anak turun kita hanya agar tanahnya dapat ditanami kembali.
Atau bagaimana kalau di dekat-dekat sini ada sungai dan pada akhirnya bungkus rokokmu terjun bebas ke sungai? Misalnya saja ada satu orang sepertimu tiap harinya, coba kau pikirkan bagaimana keadaan sungai itu dalam setahun? Pernah terfikir tidak sih di benakmu betapa tidak cantiknya sungai yang bersampah? Sungai yang harusnya jadi tempat air mengalir, berubah makna jadi tempat air yang berbau.
Aduh, bagaimana ini? Semakin banyak yang kungkapkan, bukannya semakin lega. Malah makin marah diriku
Aku punya cerita tentang seorang nenek penjual pisang. Bukan cerita klasik tentang putri cantik dan pangeran kaya sih, tapi kau harus tetap dengarkan. Ini penting. Waktu aku datang ke tempat biasa ia berjualan, nenek itu tak ada. Kuedarkan pandang sekeliling, dan kulihat nenek itu berjalan dari tepi sungai kecil di samping tembok sebuah gedung. Pikirku, nenek itu darimana. Kuikuti jalan yang ia susuri dengan pandangku, dan kutemukan satu gubug reyot menempel pada tembok. Lalu pandangku terpaku pada ceceran sampah di aliran sungainya.
Coba bayangkan bungkus rokokmu itu jatuh ke sungai, terbawa arus air, dan tersangkut bersama ceceran sampah lain yang mana rumah-rumah penduduk dibangun tepat di pinggir sungai. Bagaimana perasaanmu? Kalau kau berani katakan, ‘Aku memang buang ke sungai, tapi tidak ke sungai yang banyak rumahnya seperti itu. Jadi tidak apa-apa.’ Pasti kugebuk kepalamu.
Pernah tahu majalah Mentari Putra Harapan yang terbit sekitar empat belasan tahun yang lalu? Dengan tokoh Tiwuk yang selalu membawa palu godam untuk memukul teman-temannya tatkala ia jengkel? Aku ingin pinjam palu itu sebentar saja. Khusus untuk menggebuk kepalamu.
Kubayangkan saja kalau aku sudah menggebuk kepalamu dengan palu Tiwuk. Saat itu juga aku merasa lega. Jangan pikir enak ya menahan diri dari sesuatu yang sangat ingin dilakukan.
Nah karena sekarang sudah lega, kumasukkan kembali polpenku ke dalam tas. Kupalingkan wajah ke luar jendela, melahap hamparan hijau pegunungan. Lebih nyaman begitu. Pura-pura tidak tahu saja dengan yang terjadi di dalam bus.
Saat hampir tertidur, kudengar suara seseorang meminta ijin untuk duduk di sampingku. Segera aku menoleh dan betapa tidak enaknya mendapati bahwa kaulah itu. Terpaksa sekali kukatakan ‘Iya’. Tanpa embel-embel Mas tentunya. Mas adalah panggilan kehormatan, untuk orang yang dihormati. Tapi kau dan bungkus rokokmu? Tidak, kau tidak berhak mendapat sebutan itu. Hah, duduk bersamamu pasti menjengkelkan.
Sekilas kulirik, bukan seragam SMA ternyata. Hanya warnanya saja yang sama : putih lengan pendek. Dan saat kulihat wajahmu, mestinya seumuran denganku. Atau mungkin lebih.
Hmm, kelihatannya kau mahasiswa. Atau pekerja yang baru saja menapaki jenjang karirnya. Penampilanmu meyakinkan. Kalau begitu, harusnya kau itu pintar. Dan karena kau pintar, kau tentunya tahu keadaan lingkungan di negara-negara maju. Bersih. Apa kau tidak iri?
Rasanya ingin kulemparkan lirikan sinis padamu. Tapi mungkin bakal sia-sia. Kan kau tidak tahu sebab kemarahanku.
Ah, kau sama sekali tak ambil pusing dengan ketidaknyamananku. Baik, kalau begitu aku juga tidak mau ambil pusing denganmu. Tapi kenapa tindakan dan bungkus rokokmu tak juga mau hilang dari kepalaku.
Bingung aku. Apa seharusnya aku bicara saja padamu tentang bungkus rokokmu? Tapi kau lempar bungkus rokok itu sudah sejam yang lalu. Kalau bicara sekarang rasanya terlambat sekali. Bagaimana ini baiknya?
Saat aku masih kebingungan bagaimana harus bersikap, kau turun. Ya sudah, mau apalagi. Semoga saja aku tidak bertemu denganmu lagi dengan perkara bungkus rokokmu. Sudah cukup sekali saja kau buat pusing kepalaku.
Malang, 31 Mei 2011
No comments:
Post a Comment